top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

The Beers & Some Talks About Valuation: DLTA & MLBI [Delta Djakarta & Multi Bintang]

Produsen bir Anker dan Bintang ini sangat economically profitable dengan ROIC dan EVA margin di atas 50% dan 30% secara berturut-turut. Kondisi pandemi masih membuat EVA margin di atas 15%. Mayoritas perusahaan tidak bisa melebihi EVA margin di atas 10%.


Return on capital sebesar ini dicapai karena banyak orang memilih mengkonsumsi overpriced alkohol tingkat rendah. Untuk mengukur seberapa besar overpriced ini, perhitungan kasar yang saya lakukan menunjukan kalau kedua produsen ini bisa memotong harga 30% di saat ini dan masih break-even economically (zero economic profit). Bila kita memakai patokan tahun 2019, tahun puncak penjualan bir Indonesia, diskon ini bisa mencapai 40% (premium Bintang lebih tinggi sedikit dari Angker). Zero economic profit berarti tidak hanya gaji karyawan bisa dipenuhi, tapi juga opportunity costs untuk modal yang ditanam investornya. Tidak heran saya menemukan bir kaleng di Jepang jauh lebih murah.


Ini adalah hasil hubungan erat produsen bir dengan pemerintah. Kalau pemerintah tidak melindunginya, saya yakin kita sudah melihat pabrik bir Kirin (bir Jepang). Apa yang kita miliki adalah Heineken membeli saham MLBI, tapi secara resmi, pabrik produksi birnya tetap bernama Multi Bintang. Bisnis alkohol adalah anak emas yang dijaga kalangan elit dengan erat.


Dengan konteks ini, keresahan belum lama ini terkait masalah cukai MLBI tidak bisa saya pandang dengan konsekuensi serius. Terlebih, bila kita melihat footnotes di laporan keuangan dahulu, kita tahu kalau ini adalah kelanjutan cerita lama. Di tahun 2015, MLBI dinilai kurang bayar cukai sekitar Rp 220 M. MLBI kemudian membayarnya, tapi kemudian MLBI berhasil membujuk pengadilan agar badan pajak mengembalikannya lagi. At any rate, walaupun MLBI membayar klaim pajak tersebut, MLBI masih tetap menjadi salah satu perusahaan paling profitable economically di Indonesia.



Pandemi datang, dan sales anjlok lebih dari 40% di Q3 2020 dibanding periode yang sama di tahun 2019. EVA turun drastis dengannya.


Point utamanya, kedua perusahaan bir ini, MLBI dan DLTA, sangat economically profitable dengan menjual bir bermagin tinggi. Seperti semua perusahaan dengan return on capital yang tinggi, economic profit perusahaan-perusahaan ini sangat sensitif terhadap pertumbuhan sales. Di chart pertama kita melihat kontraksi tajam EVA karena sales terkontraksi 30% di LTM Q3 2020 (dibanding full-year 2019). By full-year 2020, kita bisa expect kontraksi sales akan mencapai sekitar 40% dibanding tahun 2019, yang berarti EVA akan sedikit lebih buruk dari LTM Q3 2020 di atas.


Tapi di mata saya, semua analisa di atas kurang berarti bila kita tidak bisa menjawab pertanyaan: “Lalu, kenapa saham MLBI secara persisten jauh lebih mahal dari DLTA?”

Pertanyaan ini penting karena saya yakin banyak yang melihat MLBI seperti deep discount setelah harga sahamnya jatuh >50%.


Chart ROIC di atas memperlihatkan jelas kalau return on capital DLTA tidak jauh berbeda dengan MLBI sejak tahun 2018. Tapi Enterprise Value (EV)/Capital MLBI secara persisten berada di sekitar 25x dari tahun 2016-2019. Mutiple EV/Capital DLTA berkisar 5-10x. Perbedaan sebesar ini tidak bisa dijelaskan dengan perbedaan sales growth. Selama periode tersebut, rata-rata growth MLBI sebesar 4,4% dan DLTA 2,2%. Small difference.

Bagaimana kalau MLBI hanya ‘sekedar’ overvalued? Investor MLBI, untuk alasan apapun, mempush harga MLBI sehingga nilanya jauh di atas jumlah uang potensial yang bisa disodorkan bisnis MLBI ke investor. Apa konsekuensinya kalau itu yang terjadi? Harga sahamnya, untuk alasan apapun (biasanya karena kontraksi EVA), akan sangat rentan untuk longsor menuju level yang lebih rasional.


Apakah ini yang sedang terjadi di MLBI? Yes.

Sekarang, bayangkan kalau Anda investor DLTA di tahun 2019. Anda mengerti bagaimana menilai performa perusahaan, dan kemudian mendapati kalau profitabilitas DLTA tidak jauh dari MLBI. Problemnya, Anda tidak mengerti bagaimana pengetahuan tersebut berkaitan dengan harga sahamnya. Most likely, panutan Anda adalah melihat multiple PBV dan PER MLBI. Most likely, Anda akan ingin percaya kalau multiple DLTA akan segera mendapat ‘re-rating’ setinggi MLBI. Jadi, ayo kita lempar dadu.


Pendekatan yang jauh lebih baik adalah dengan melihat harga saham sebagai ekspektasi EVA dari investor. Kita lihat seberapa besar EVA growth yang dibutuhkan untuk menjustify harga saham MLBI dan DLTA.

Chart di atas menunjukan kalau investor MLBI secara persisten menaruh ekspektasi EVA growth (momentum) yang jauh lebih tinggi dari DLTA. Rata-rata ekspektasi EVA momentum MLBI selama tahun 2016-2019 sebesar 11%. Dalam realita, rata-rata EVA momentum MLBI selama periode itu hanya 2%. Ekspektasi irasional adalah alasan utama mengapa EV/Capital MLBI jauh lebih tinggi dari DLTA, bukan real performancenya.


Seperti yang Anda lihat di chart atas, di harga saham saat ini investor MLBI masih menempatkan ekspektasi yang lebih tinggi dari DLTA.


Bila kita melihat dalam jangka pendek (permainan mengalahkan ekspektasi 1 tahun ke depan), ekspektasi investor MLBI dan DLTA (terutama DLTA) bisa jauh dilampaui seandainya V-shaped recovery terjadi di tahun ini. Lebih spesifik, seandainya sales bir di tahun ini bisa kembali ke level tahun 2019. Saya tidak seoptimistis itu. Seandainyapun turis Barat mulai banyak berdatangan di Bali, mood yang saat ini jauh dari euforia tidak akan kondusif untuk kembali konsumsi bir berlebihan. Absent dari V-shaped recovery, di harga saham saat ini MLBI sangat tidak atraktif di mata saya, dan DLTA is reasonably priced, at best.


Long-term technical analysis notes:


DLTA: Possible significant parallel lines.

Expect some rebounds when it hit the lower line. Also, a mirror from mid-line shows potential significant supports if DLTA broke the lower line. 1.950/share is DLTA value if its EVA could never recover from Q3 2020. That would make a considerable margin of safety if DLTA could indeed recover.



MLBI: An equality measurement shows recent low at 8.300/share respected the 50% subdivision. Still far from what I can call as an attractive opportunity. 100% equality gives a much more acceptable price.


241 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page