top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

SRIL (Sritex) Current Debt Issue, Implications, & Beyond

Setelah rehat menulis analisa sekitar sebulan, saya memulainya lagi dengan saham SRIL yang pembaca lama tahu saya miliki.


Semenjak SRIL suspensi, analisa-analisa banyak beredar yang tidak bisa saya lihat sebagai analisa, tapi sekedar curhat. Jadi saya memutuskan untuk menulis sebuah analisa dalam 3 sesi. Yang pertama, utang. Kedua, utang SRIL. Ketiga, kondisi overall bisnis SRIL.


Part 1. Kredit


Kita mulai dengan hal paling jelas yang membuat SRIL disuspensi: utang. Ada pandangan keliru yang sangat mudah diterima orang ketika menyangkut utang: menyamakan perusahaan dan negara sebagai individu. Not true. Negara bukan individu, dan perusahaan bukan individu ataupun negara. Sebagai individu, ketika memiliki utang, pada ujungnya kita membayar utang full sampai tidak ada sisa. Tidak demikian dengan perusahaan ataupun negara. Perusahaan dan negara berjalan dengan meroll-over kredit. Artinya, membayar utang lama dengan utang baru. Sebagai individu, itu disebut hidup dalam utang. Kebanyakan dari kita tidak ingin hidup seperti itu, tapi perusahaan dan negara bukan individu.


Sistem ekonomi yang kita miliki sekarang memiliki jalur seperti ini: kredit dahulu, baru produksi kemudian. Secara otomatis tatanan seperti ini menempatkan kreditur dalam posisi tinggi. Inilah mengapa kreditur bisa mendikte ke perusahaan apa yang boleh atau tidak (disebut covenant) dan laporan keuangan dan peraturannya yang kita miliki dibuat untuk kepentingan kreditur terlebih dahulu (sebelum shareholder kemudian). Apa yang perlu kita ingat adalah tatanan seperti itu adalah buatan manusia, bukan hukum alam.


DI sistem ekonomi saat ini, kreditur mengerti kalau seandainya mereka berhenti menyediakan utang baru, sistem ini akan berhenti. Sangat sedikit perusahaan yang bisa berjalan apabila kreditur meminta uang pokok tanpa ada pinjaman baru. Kita perlu ingat kalau bagian terbesar kredit adalah pembayaran pokok yang berarti perusahaan harus meroll-over kredit mereka sebelum pokok jatuh tempo.


Tapi sekali-kali, Krisis dengan K besar mucul. Untuk satu dan lain hal, bank tidak ingin meroll-over kredit walaupun bisnis perusahaan masih viable. Dengan kata lain, tatanan ekonomi yang kita miliki saat ini membuat masalah sektor perbankan menjadi masalah untuk seluruh sektor produksi. Dugaan saya, inilah yang terjadi dengan SRIL dan juga menjadi penyebab utama mengapa saham perusahaan sawit tidak kemana-mana walaupun harga CPO sekarang all-time historic high (menarik bagaimana media memutar otak mencari kambing hitam di pajak ekspor sawit). Untuk satu dan lain hal, bank tidak memiliki keinginan untuk roll-over kredit. Saya teringat kalau teman saya yang seorang kredit analyst pernah sangat sibuk melakukan stress-test di sekitar tahun 2019. Problem kreditur disini sudah menumpuk tahunan bahkan sebelum pandemi. Tidak mengherankan karena bagaimanapun ekonomi Indonesia adalah ekspor komoditas. Semenjak ekonomi China tidak bisa lagi menopang demand global yang hancur sejak 2008, komoditas hancur mulai dari tahun 2014.


Side Note: Saat ini harga komoditas kecuali oil berada di all-time high. Sejauh ini saya tidak menemukan alasan yang bagus mengapa demikian. Berhubung semua argumen langsung hilang ketika kita menghilangkan China, saya cukup yakin harga komoditas all-time high ini tidak akan berlangsung lama dan akan berputar balik tajam sekejap.


Saya melihat kasus-kasus PKPU yang bertambah tiap bulan ini (yang baru-baru ini notable adalah Ace Hardware) sebagai indikasi kalau saat ini kondisi bank semakin mendekati masalah sistemik, yang artinya akan menjadi masalah untuk seluruh sektor produksi (karena semua bank tidak ada yang bersedia (ataupun mampu) untuk meroll-over kredit). Yang jelas kita belum sampai di tahap itu. Tapi apa yang terjadi di SRIL adalah indikasi yang mengkhawatirkan. Mudah-mudahan problemnya masih berupa kasus bank spesifik. Kita perlu ingat IMF telah mempublikasikan kekhawatiran mereka terhadap global debt di buku yang terbit tahun lalu yang isinya dunia sangat rentan berujung ke krisis likuiditas bila tidak ada keringanan dari kreditur. Dan kali ini dalam sepanjang sejarah, seluruh dunia. Indonesia tentu saja masuk ke dalam list ini. Apa yang dimaksud dengan keringanan, pada point ini, sudah berarti debt forgiveness, bukan sekedar ekstensi lagi.


Saya perlu menggaris bawahi kalau valuasi saham (nilai perusahaan public) itu berdasarkan prinsip ‘going concern’. Prinsip going concern berarti berasumsi kalau investor/kreditor akan terus menerus membiayai bisnis yang menghasilkan return yang acceptable untuk mereka. Ketika problem sistemik di bank terjadi, prinsip ini dilanggar. Sebuah perusahaan bisa memiliki Return on Capital (ROIC) di atas 12% (return yang hampir pasti memenuhi minimum return requirement hampir seluruh investor, kecuali start-up) tapi bisa gulung tikar karena kreditornya tidak ingin meroll-over kredit mereka. Benjamin Graham hidup dalam kondisi seperti itu sehingga memperkenalkan konsep ‘net-net’. Konsep itu masuk akal kalau sistem kredit bisa berjalan lagi. Dengan kata lain, kalau credit market mati, maka stock market juga ikut mati. Benjamin Graham beruntung karena pada ujungnya likuiditas kembali berjalan.


Berhubung saya yakin perbankan ujungnya akan baik-baik saja (mungkin tidak dalam jangka pendek), berarti prinsip going concern masih tetap menjadi prinsip valid, saya akan melihat SRIL dengan lensa ini nanti. Sebelumnya, saya akan menampilkan sedikit data yang menunjang pandangan kalau ini adalah masalah krediturnya.


Part 2. SRIL Credit Issue


Ada dua gugatan gagal bayar SRIL. Pertama, dari bank QNB dan kedua, dari pihak privat. Gugatan dari QNB perlu dilihat karena jumlahnya besar. Dibawah ini adalah komposisi utang jangka pendek SRIL tahun 2020.


Note ada 3 pinjaman besar dari bank asing yang saya garis bawahi: HSBC, QNB, dan StanChar. Totalnya sekitar USD 100 juta. Jumlah ini melonjak tajam dari tahun 2019. Bila kita rupiahkan, itu menjadi hampir Rp 1,5 T. Dugaan saya, gugatan bank QNB sebenarnya adalah gugatan dari minimal 3 bank itu, terutama HSBC sebagai lender dengan nominal terbesar.


Sekarang kita lihat kemampuan bayar SRIL kepada 3 bank di atas. Dibawah ini adalah estimasi operating profit (NOPAT) Sritex 5 tahun terakhir.


Dengan pengecualian di tahun 2019 (SRIL mendapat big bonus dari klaim asuransi – ketika banyak orang melihatnya sebagai hal buruk karena pabriknya terbakar), estimasi operating profit after tax SRIL besarnya sekitar Rp 1,5 T. Cash on hand SRIL terakhir di Q4 2020 sekitar Rp 2,6 T. Jadi seandainya working capital SRIL tidak memburuk, SRIL memiliki cash sekitar Rp 4,1 T untuk membayar utang. Dengan kata lain, SRIL sebenarnya bisa membayar pokok utang jangka pendek.


Tapi persoalannya berbeda kalau kreditor tidak berencana untuk memberi pinjaman baru. Tadi saya memberi highlight bank HSBC. The devil is in the details. HSBC adalah salah satu kreditur sindikasi jangka panjang untuk SRIL. Ini adalah utang terbesar SRIL dengan nominal sekitar Rp 5 T. Utang sindikat ini akan jatuh tempo di bulan Januari 2022. There is no way SRIL could pay that. Terlebih, operasi SRIL bisa berhenti bila utang jangka panjang ini ditarik. Sekitar 60% bisnis SRIL dibiayai dengan utang. 70% dari utang itu adalah utang jangka panjang yang didominasi oleh pinjaman sindikat.


Tentu saja HSBC tahu sehingga utang sindikasi ini selalu di roll-over. Apa yang bisa dilakukan SRIL bila kreditur sindikasi ini tidak ingin meroll-over kredit mereka? Berikutnya adalah spekulasi saya.


Salah satu pilihan adalah membawa kreditur lainnya masuk lubang. SRIL menyadari konsep: ketika Anda berhutang Rp 10 juta ke bank, itu masalah Anda, tapi kalau Anda berhutang Rp 10 T ke bank, itu menjadi masalah bank. Dugaan saya, ini yang dilakukan SRIL saat ini dengan mendefault utang jangka pendek dan MTN saat ini yang jumlahnya kacang dibanding utang jangka panjang. Apabila SRIL mendefault satu utang, maka SRIL berada di posisi bisa mendefault utang lainnya, termasuk utang jangka panjang yang jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka memaksa kreditur agar long term debt mereka kembali di roll-over seperti biasa. Apabila long term debt bisa di roll-over, maka sangat membuka pintu bonus agar bank yang sama meroll-over short-term debt mereka yang disebut ‘Omnibus Working Capital loan’.


Tentu saja ini pilihan yang berbahaya. Default bisa memiliki konsekuensi akses kredit baru akan ditutup sampai 3-5 tahun. Bisnis Sritex dibiayai 60%nya oleh kreditur. Dan kebutuhan kredit akan lebih besar bila kustomer SRIL menunggak pembayaran lebih lama. Dugaan saya, Sritex berani mengambil langkah ini karena yakin pemerintah RI siap membantu. Apapun alasannya, jelas investor saham saat ini terperangkap dan hampir tidak mungkin suspend dibuka sebelum ada penyelesaian bagaimana mengatasi utang Rp 5 T yang akan jatuh tempo di Januari 2022.


(Hingga saat ini, belum ada keputusan signifikan. Kreditur hanya sepakat untuk memperpanjang jatuh tempo utang jangka pendek. Tidak ada kata apakah ada roll-over (pinjaman utang baru lagi) bahkan untuk jangka pendek. Kepasifan kreditur seperti ini dalam membuat penyelesaian telah diperingati oleh IMF akan membuat krisis yang besar dalam waktu dekat. Untuk SRIL, waktu ini adalah Januari 2022).

Rekomendasi dari analyst-analyst yang melihat ‘fundamental’ mulai menyarankan investor mulai memahami ‘negotiated market’. Saya pikir itu non-sense. NG market adalah opsi keluar terakhir sebelum delisting. Pada ujungnya, hampir tidak mungkin ada owner yang lebih baik dari SRIL untuk produsen tekstil dan garmen (setidaknya di dalam sistem ekonomi yang kita miliki saat ini).


Industri tekstil adalah industri yang labor-intensive, dan SRIL mendapat dukungan dari pemerintah untuk memberikan upah terendah di dunia kepada buruhnya yang hanya bisa dikalahkan oleh buruh Bangladesh. Jika konsumen global masih menginginkan tekstil, kreditur yang melikuidasi Sritex tidak akan menemukan penggantinya dengan pengecualian apabila konsumen global menjadi hanya China. Di skenario China, maka best ownernya adalah perusahaan yang mempunyai akses untuk mengeksplotasi tenaga kerja Vietnam (saya teringat bos SRIL optimist bisa menembus pasar China, menjadi game-changer, dalam wawancaranya di OBG – Oxford Business Group report tahun 2017. Not happening).


Ini berarti kalau seandainya ‘master of the universe’ masih ingin sistem ekonomi untuk mereka terus berjalan dan memproduksi tekstil, SRIL akan tetap dibutuhkan. Kecuali kalau kita menemukan cara sehingga tangan manusia tidak dibutuhkan di produk tekstil (possible) atau konsumen global didominasi oleh konsumen China (very unlikely).


Part 3. SRIL overall condition


Saya tidak ingin mengulangi apa yang saya tulis sebelumnya untuk overall business SRIL di 2020 (analisa terakhir lihat link di bawah). Di situ saya mempoint out kalau betul situasi SRIL di 2020 memburuk, tidak seperti apa yang ditunjukan oleh net income. Pandangan saya saat ini sedikit lebih buruk setelah SRIL menyetujui penambahan segment produksi APD.


Tahun kemarin saya hanya bisa melihat gambaran overall SRIL setelah mereka memulai produksi APD. EVA menurun. Tidak ada alasan untuk percaya kalau APD akan menjadi sinar baru SRIL.


Sekarang SRIL memberikan laporan lebih detail spesifik untuk APD yang bisa diakses di situs BEI. Apa yang kita tahu sekarang sebelum mengaksesnya? Sritex bisa memproduksi APD level 3 saat ini, tapi tampaknya kebanyakan produksinya untuk level 1 dan 2. Setidaknya negara maju hanya mau menerima APD minimal level 3. Jadi kebanyakan APD buatan SRIL tidak bisa diekspor ke negara maju.


Even better, sekarang SRIL memberikan angka yang relevan. Di bawah ini adalah proyeksi NPV management untuk segment APD.

Untuk pembaca awam, tabel di atas berbunyi kalau management mengharapkan investasi produksi APD membutuhkan Rp 280 Miliar. Investasi ini pada ujungnya akan balik modal dan untung sehingga SRIL lebih kaya Rp 85 Miliar. So far so good. Tapi ada yang janggal. Untuk Anda yang bisa melakukan Present Value, Anda akan mendapati kalau NPV Rp 85 Miliar memiliki asumsi terminal growth (growth cashflow yang terus-menerus setelah tahun 2024) sebesar 3,8%. Lebih tinggi dari apa yang dikatakan management (3%).


Tapi saya harap pembaca awam menangkap kejanggalan yang lebih fatal: Bagaimana bisa ada cashflow growth terus menerus padahal management expect mulai di tahun 2022 cashflow APD mulai menurun? Inilah magic discounted cashflow yang memaksakan harus ada terminal growth. Pasti dimanfaatkan management untuk mendapat persetujuan. Lagipula, siapa yang akan melihat angka-angka ini setelah proyeknya jalan?


Asumsi yang lebih realistis adalah menganggap tidak ada growth setelah tahun 2024. Apabila kita memakai asumsi no growth, NPV produksi APD adalah minus Rp 15 Miliar, yang artinya investasi rugi.


Kita perlu melihat cerita ini ke dalam konteks yang besar. Dengan harga saham SRIL 146/share saat ini, investor secara implisit menilai NPV SRIL sebesar minus Rp 6,2 T. Seandainya market tepat dalam menilai SRIL, tapi belum memperhitungkan operasi APD, maka nilai NPV minus Rp 6,2 T itu perlu dikurangi Rp 15 Miliar lagi. Sekarang Anda bisa lihat kalau proposal APD ini, walaupun kemungkinannya besar akan rugi, tetap tidak signifikan.


Hal notable lain adalah SRIL telah mem-PHK 1.577 karyawan dari total sebelumnya 18.763. 8% karyawan telah di PHK di tahun 2020, dan SRIL masih membicarakan restrukturisasi yang berarti PHK lebih lanjut. Most likely, perampingan ini ditujukan kepada 2 perusahaan pemintal benang yang diakuisisi pada tahun 2018. Tapi dampaknya terhadap economic profit tidak akan signifikan karena porsi upah buruh hanya sekitar 5% dari total COGS.


Bottom Line


Dari pandangan saya, sekarang investor SRIL menghadapi 2 skenario utama:


Pertama, kreditur akhirnya bertingkah rasional dengan meroll-over kredit. Di skenario ini, suspensi SRIL akan dicabut dan pertanyaan besar investor berikutnya adalah apakah market tekstil dan garment sudah berubah. Tapi di skenario ini, investor tidak perlu begitu khawatir karena di harga saham saat ini ekspektasi investor sudah melempem.


Kedua, kreditur tetap berteriak ‘I want my money back now’ dan ‘no more roll-over’. Kalau demikian, investor SRIL got screwed (and so do I), dan itu berarti kreditur mendorong kita selangkah lebih maju ke krisis likuiditas. Skenario yang dikhawatirkan IMF terjadi. Setidaknya kita tidak perlu panik dengan uang di rekening bank karena negara memberikan jaminan LPS. Tapi banyak usaha akan kolaps. Di skenario ini, tidak hanya investasi saya di SRIL menjadi semakin tidak jelas, tapi juga untuk pasar modal Indonesia secara keseluruhan.


Tentu saja masih ada kemungkinan kalau ini betul kesalahan SRIL saja yang tidak bisa membayar utang jangka pendek atau masalah di perbankan yang masih belum sistemik (bank yang bermasalah hanya bank QNB). Saya jauh ebih memilih skenario ketiga ini ketimbang skenario kedua. Tapi saya takut pandangan realistis mengarah ke skenario pertama atau kedua.


Tulisan kali ini lebih panjang dari biasanya. Ini karena saya merasa SRIL seperti burung kenari yang memberi signal ada gas beracun di depan. Berikutnya saya akan memulai EVA Brief lagi seperti biasanya.



Relevant Links:


416 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page