Event besar menghasilkan reaksi yang kemudian bisa memberikan result contrary dengan trend besar yang sedang berlangsung. Reaksi dari big events semenjak global pivotal moment terjadi (ketika Russia menyerang Ukraine) memiliki dimensi multifacet. Kita baru saja membahas salah satu facet di memo sebelumnya di DAX, The Great Distortion. Now, It's Over. Di sini kita akan membahas banking, satu sektor dimana saya percaya pusat distorsi terjadi. Analisa singkat ini adalah bagian integral dalam analisa banking Indonesia di framework analisa saya.
Setelah Credit Suisse jatuh, next in line yang akan menjadi 'canary in the mines' adalah bank terbesar Swiss yang mengakuisisi Credit Suisse: UBS. Saya akan memakai saham bank UBS untuk memberi tanda dimana arus balik besar telah (akhirnya) datang di sektor bank global dan tidak ada lagi financial shenanigans yang bisa menyelamatkan harga saham-saham bank ini dari big bear market. Big banks don’t walk alone.
Dua kejadian besar telah terjadi di sektor banking global dalam 2 tahun terakhir: Silicon Valley Bank dan Credit Suisse mengalami bank run. Di analisa Maret 2023 Global Market Perspective: The Calm Is Ending, Storm Is Coming – Part 1, saya mengantisipasi kejatuhan Credit Suisse ketika big gap down dengan massive volume terjadi diiringi dengan spike di CDS spread. Apa yang saya tulis berikutnya sangat penting. Saya menunjukan kalau jumlah utang yang akan jatuh tempo di wilayah EMEA di tahun 2024 dan 2025 akan mencetak historic record. Di analisa ini saya akan menunjukan bagaimana debt maturity ini bersamaan dengan apa yang terjadi dengan Credit Suisse ini menturbo-charged distorsi di financial market yang dimulai sejak akhir Oktober 2022. Untuk alasan yang sama, saya tidak melihat kemungkinan trend dari distorsi ini bisa dipertahankan ketika fase bull market datang kembali di komoditas.
Di bulan Maret kemarin, Axios mempublish sebuah artikel kunci yang menyatukan puzzle pieces yang terjadi sejak akhir tahun 2022 (RIP maturity wall: Companies are refinancing at a breakneck pace). Sebelum membaca artikel tersebut, saya mengetahui kalau credit spread (OAS) untuk junk bond (high yield) berada dalam downtrend semenjak Nordstream meledak di akhir September 2022 (Yes, THE LOW for 'wonder stocks'). Dowtrend di OAS junk bond ini terlihat jauh lebih jelas ketika bank Credit Suisse kolaps di Maret 2023. Pola yang sama terjadi tidak lama setelah Hamas menyerang Israel (Figure 1).
Figure 1. BofA High Yield OAS – detailed events
Artikel dari Axios memberikan missing piece krusial. Saya telah mempoint out kalau tahun 2024-2025 jumlah utang yang jatuh tempo akan mencapai unprecedented level. Apa yang telah terjadi semenjak kasus Nordstream terjadi adalah terjadinya debt maturity extension secara massive. Semenjak akhir tahun 2022, sebanyak 40% utang (yang dimasukan dalam perhitungan Bank of America (BofA)) yang jatuh tempo di tahun 2024-2026 mendapat extension. Artikel tersebut mengutip seorang analyst BofA: "this episode represents one of the most aggressive instances of maturity extension in the history of leveraged finance."
Indeed, refinancing aggressive ini mendorong junk bond yield spread berada di level yang sangat rendah berdasarkan historical data (Figure 2).
Figure 2. High Yield OAS at a very low level
Semua key event yang saya note di Figure 1 belum terselesaikan, semakin parah, dan konsekuensi negatifnya belum terasa secara penuh. Saya telah menunjukannya di artikel DAX kemarin mengenai efek Nordstream. This is only the beginning. Notice past experience 2008 dan 2020: OAS bisa naik dengan sangat cepat. On top of that, high yield bond juga sensitive terhadap pergerakan komoditas (Figure 3).
Di dalam skenario bull market komoditas, probabilitas junk bond OAS mengalami kenaikan signfikan adalah sangat tinggi dalam perkiraan saya. Kenaikan OAS yang tajam berarti kenaikan interest rate besar yang mendadak untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki credit rating di bawah investment grade.
Figure 3. When commodities going up, High-Yield OAS would blow-up
Berikut adalah key dates ketika OAS berubah arah: 20 Maret 2023 (Credit Suisse default) dan 23 Oktober 2023 (eskalasi perang Israel). Sekarang kita akan beralih ke saham UBS sebagai 'cannary in the mines' setelah Credit Suisse.
Kita tahu dari Figure 1 kalau tanggal 20 Maret 2023 dan 23 Oktober 2023 adalah turning point OAS dan menjadi periode "the most aggressive instances of maturity extension in the history of leveraged finance." Turning point yang sama juga terjadi di saham dengan sedikit perbedaan: 20 Maret 2023 lebih spesifik untuk banking sector, sedangkan 23 Oktober 2023 lebih menyeluruh. We'll use this key information to our advantage. There is no coincidence.
Figure 4 menunjukan bagaimana key information ini membentuk sebuah trendline spesifik di saham UBS. Hubungkan low 20 Maret 2023 dengan low 27 Oktober 2023.
Figure 4. UBS: The Cannary In The Mines (after Credit Suisse) – Key Trendline
Anda akan melihat sendiri bagaimana kejatuhan domino di sektor banking global akan mengalami akselerasi setelah trendline di UBS ini patah. UBS adalah key chess piece dalam global banking, tidak hanya karena posisinya sebagai bank terbesar Swiss, tapi juga kaitannya dengan Credit Suisse.
Downtrend yang akan menimpa UBS sudah didahului di saham NYCB (New York Community Bank). Credit Suisse collapse didahului oleh bank run di Silicon Valey Bank (SVB). NYCB adalah bank yang kemudian mengakuisisi SVB. Kontraksi di rental income dari office building di kota-kota besar US membuat kejatuhan saham NYCB terjadi lebih dahulu (Figure 5).
Figure 5. NYCB Countdown to Zero
Notice level support 20 Maret 2023 (low setelah gap up) dan 30 Oktober 2023 secara bersamaan ditembus dalam satu hari pada tanggal 31 Januari 2024. Tanpa adanya bail-out yang jauh lebih besar dari kasus SVB, bank New York ini akan collapse.
Saya tidak mengerti logika berinvestasi dengan sumber expected return dari bail-out. Tapi sepertinya moral hazard seperti ini menjamur. Kita sekarang tahu kalau big money membanjiri sektor banking (dan wonder stocks) terutama sejak Credit Suisse diselamatkan oleh UBS di bulan Maret 2023. Di awal bulan April 2024 ini, sebuah law firm di US mengumumkan akan mencoba mengajukan gugatan untuk investor NYCB yang menaruh investasi selama 1 Maret 2023 – 5 Februari 2024 agar sebagian loss mereka bisa ditutup (link). Not a coincidence. Moral hazard investing.
Now, let’s step back.
Tujuan kita menganalisa UBS dan NYCB adalah untuk mencoba menakar dimana posisi banking sector saat ini secara global. Big banks don't walk alone. Dalam konteks ini, announcement dari law firm ini adalah red flag: NYCB akan bangkrut. No bail-out. Jika demikian, bagaimana dengan UBS? Saya tidak tahu sejauh mana banking collapse akan terjadi. Apakah worst impact hanya berhenti di equity market? Secara jujur, saya tidak perlu tahu banyak karena pada ujung-ujungnya hanya ada 2 skenario terpenting untuk saya: kelanjutan uptrend, atau downtrend? Konfirmasi terawal perubahan trend di global banking mulai dari sekarang adalah trendline UBS di chart atas patah. Dari analisa geometri Dow Jones dan DAX, saya mendapati kalau kedua indeks ini berada di level penting. Kedua hal ini meningkatkan probabilitas kalau saham UBS sudah membuat market top.
Jika semua indeks saham itu dan UBS sudah membuat market top, lalu apa itu artinya untuk big banks di Indonesia. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk membahas posisi saham bank BCA (BBCA), bank terbesar di Indonesia. Analisa berikutnya, Elliott Wave Structure BBCA.
Final Notes
Apa yang terjadi di sepanjang tahun 2023 dan hingga awal tahun 2024 adalah fase market anomaly. Fase anomaly ini bermula ketika Credit Suisse mengalami bank run. Massive money injection yang kemudian terjadi tidak hanya mengalir untuk loan extension, tapi jelas masuk ke equity market seperti yang bisa dilihat dengan turning point OAS dan pivot low di equity yang terjadi hampir bersamaan. Divergence antara real economy dan equity market ini paling jelas terlihat di Germany. Berikutnya adalah spekulasi saya.
Dari figure 3, saya menunjukan korelasi tinggi antara high-yield OAS dengan indeks komoditas. Saya percaya kalau massive liquidity influx ini juga masuk ke commodity futures market. Jika Anda percaya kalau harga komoditas hanya ditentukan oleh supply-demand physical stuffs. kita tidak akan mengalami oil price NEGATIVE USD 40/barrel di Maret 2020. Saya pikir dugaan ini masuk akal karena untuk membuat operasi manipulasi junk bond spread berhasil, maka sangat penting agar investor percaya kalau inflasi bisa terkontrol. Ini berarti harga komoditas tidak boleh berada di fase bull market, atau lebih baik lagi, masih melanjutkan downtrend seperti apa yang terjadi di market nat gas, wheat, corn, dan soybean.
Tapi spekulasi dengan high leverage adalah bumerang. Jika seandainya apa yang terjadi sepanjang tahun 2023 hingga awal tahun 2024 ini adalah massive short selling, bukan karena fundamental, tapi karena injeksi likuiditas massive, maka posisi spekulasi yang sama akan menjadi long position ketika short squeeze terjadi. Fase short squeeze ini akan terjadi di awal bull market komoditas yang saya expect sudah terjadi di bulan Maret 2024. Ini berarti untuk technical reason (massive short squeeze), kenaikan komoditas di fase awal ini akan berlangsung dengan cepat dan relentless. Kondisi supply di berbagai macam komoditas yang hanya akan semakin ketat akan memaksa investor untuk mengubah posisi mereka di commodity futures dan bond market. Satu case yang paling jelas adalah Europeans akan menemukan seberapa cepat gas inventory mereka terkuras di akhir tahun ini apabila US tidak bersedia melanjutkan transfer oil reserve yang saat ini tinggal 50%.
Short memo end.
Back to:
Comments