top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

Reading Between the Lines of BWPT (Eagle High Plantations)

Dari semua saham produsen CPO, Eagle High Plantations (BWPT) mempunyai reputasi yang sangat buruk di kalangan investor, terutama investor retail yang saya pantau di social media Stockbit. Julukan saham ini meliputi ‘bau pete’. Pendapat umum yang saya temukan adalah mayoritas tidak percaya kalau perusahaan BWPT ataupun sahamnya bisa mengalami turn around signifikan ketika harga CPO memasuki fase bull market. Pengalaman di cycle bull market tahun 2021-2022 memperkuat pendapat ini, walaupun pengalaman buruk ini juga dialami oleh produsen terbesar CPO Indonesia AALI dan LSIP. Seorang analyst BWPT yang sebelumnya adalah seorang insider perusahaan ini terus menerus menurunkan target price BWPT walaupun optimismenya di harga CPO masih kuat. Pandangan kalau BWPT bisa mencapai bahkan 100/share saja saat ini sudah menjadi langka (BWPT saat ini trade di 57/share).


BWPT telah menjadi bagian signifikan dalam portfolio saya sejak tahun 2018 dan saya akumulasi secara signifikan sejak akhir tahun 2020 ketika saya menilai severe downturn CPO di Maret 2020 tidak mematahkan perusahaan ini. Kebalikannya justru terjadi. Jadi analisa ini dibuat oleh seorang yang memiliki ‘skin in the game’.


Analisa BWPT telah banyak saya post di EVA Brief. Apa yang saya tulis disini adalah 3 hal yang saya nilai paling signifikan dari pengalaman saya sejauh ini di BPWT. Lepas dari 3 hal ini, saya tidak melihat faktor-faktor lain yang bisa menghalangi BWPT mengalami significant turn-around, baik secara financial performance maupun harga sahamnya ketika CPO memasuki fase bull market berikutnya, yang saya lihat kemungkinannya besar terjadi di pertengahan tahun ini seperti yang saya mention di analisa besar Global Market Perspective Part 2 (ada kemungkinan besar major turning point CPO baru saja terjadi di pertengahan bulan Juni ini). Analisa CPO yang lebih spesifik akan saya publish mungkin setelah ini. Kembali ke topik analisa ini, 3 hal signifikan ini adalah: isu dengan Felda, 2022 all-time low, dan debt burden, kemudian saya tutup dengan estimasi apa yang akan terjadi ke depan.



The Felda Issue


Nama BWPT mulai mendapat perhatian di media Malaysia ketika di bulan Mei tahun 2017 BUMN Malaysia bernama Felda melalui anak perusahaannya FIC Properties mengakuisisi 37% saham BWPT dengan harga jauh di atas market saat itu dengan total nilai USD 505,4 juta. Harga saham yang diberikan di media berfluktuasi, tapi dari estimasi saya sekitar 580/share – sekitar dua kali market price BWPT saat itu. Sejak saat itu, isu Felda identik dengan tag ‘bikin rugi Malaysia’ dan menjadi salah satu bentuk korupsi mantan PM Malaysia Najib Razak (yang tidak lama kemudian disusul dengan penangkapan PM Malaysia berikutnya Muhyiddin Yassin) dalam skandal yang jauh lebih besar bernama 1MDB* – disebut sebagai ‘the largest kleptocracy case to date’ oleh US Department of Justice.


*Fun fact: Film terkenal ‘The Wolf of Wall Steet’ didanai oleh korupsi dari 1MDB ini. Read: Wikipedia: 1MDB


Di pertengahan tahun 2022, isu Felda ini memanas kembali dengan konsekuensi fatal untuk pemegang saham BWPT lainnya. Akuisisi oleh Felda disertai dengan perjanjian luar biasa: setelah 5 tahun, Felda mempunyai hak untuk menjual kembali saham BWPT di harga awal beli (yang saya estimasi 580/share), beserta dengan bonus bunga 6% per tahun (atau dengan kata lain, extra 30% di atas harga beli 580/share). Pada point ini saya tidak tahu siapa yang menipu siapa. Transaksi ini sangat konyol dari kedua pihak.


Artikel dari media Malaysia TheEdgeMalaysia (Fifth anniversary of Felda’s Eagle High acquisition looms) memperlihatkan jelas sentiment publik saat itu dan terus berlangsung hingga saat ini: BWPT telah membuat rugi besar Malaysia, sehingga wajar kalau Malaysia akan mengambil tindakan untuk menghapus kerugiannya dengan mengambil hak jual istimewa tersebut. Artikel tersebut ditutup dengan kalimat, “Considering the situation Eagle High is in, it is clear that FELDA will likely seek to reverse the acquisition.” (emphasis dari saya).


They are wrong.


Hingga saat ini Felda tidak me-reverse akuisisinya tersebut. Dari awal saya tidak pernah percaya kalau Felda akan melakukannya. Alasannya bisa ditemukan oleh investor yang cermat melihat financial statement BWPT.


Apa yang sebenarnya terjadi adalah di tahun 2017 Felda secara efektif membeli kembali lahan sawit yang pernah dia jual kepada Rajawali Group (investor terbesar BWPT saat itu) di tahun 2014 dengan harga yang sama.


Dari berita di atas, kita tahu kalau Felda membeli 37% saham BWPT senilai USD 505,4 juta atau sekitar Rp 6,7 Triliun dengan kurs USD/IDR 13.300 yang stabil di sepanjang tahun 2017.

Di tahun 2014, BWPT melakan pembelian lahan terbesar mereka (sehingga menghancurkan economic profit (EVA) BWPT secara dramatis). Di bawah ini saya akan menampilkan laporan keuangan BWPT ketika transaksi ini dilakukan. Perhatikan jumlahnya: Rp 5,7 Triliun.


Pembelian lahan sawit Rp 5,7 Triliun yang sekitar 43% masih immature ini masih perlu digabungkan dengan pembelian lahan lainnya beserta gedung dan mesin berat senilai Rp Rp 1,6 Triliun. Gabungkan keduanya, Rp 5,7 T + Rp 1,6 T = Rp 7,3 T. Di tahun 2014, BWPT melakukan akuisisi lahan sawit massive dengan total sekitar Rp 7,3 T. Pihak perusahaan tidak memberi tahu (sejauh yang saya tahu) mereka membeli dari siapa. Pembelian lahan itu membuat besar lahan sawit BWPT menjadi double dibandingkan tahun 2013 (total lahan sawit BWPT: 69.000 Ha di 2013 vs 137.617 Ha di 2014).


Secara singkat, di tahun 2014 BWPT membeli lahan dari Felda senilai Rp 7,3 Triliun. 3 tahun kemudian di tahun 2017, hampir seluruh lahan ini sudah mature dan Felda ingin memiliki lahan ini kembali dengan cara membeli saham BWPT senilai Rp 6,7 Triliun.


Semua angka ini tidak ada yang kebetulan. Lahan yang awalnya ‘milik’ Felda ini 50% dari lahan yang dimiliki BWPT sekarang. Cara Felda memperoleh kembali kontrol lahan itu kembali adalah dengan membeli 50% saham BWPT yang dimiliki oleh investor terbesar dan pengontrol BWPT: Rajawali Group. Inilah mengapa setelah akuisisi saham tahun 2017, kepemilikan Felda (FIC Properties) dan Rajawali Group terhadap BWPT masing-masing 37%.


Kembali ke kalimat terakhir dari media, “Considering the situation Eagle High is in, it is clear that FELDA will likely seek to reverse the acquisition.” No. It is not clear. Apa yang jelas di mata saya adalah Felda kembali memiliki kontrol terhadap lahan sawit yang semula mereka miliki dengan harga yang kurang lebih sama ketika Felda menjualnya ke BWPT.


Apakah Felda kemudian menjadi rugi? Secara keuangan real Felda, Felda hanya sekedar break-even. Uang yang Felda keluarkan untuk membeli saham BWPT adalah uang yang diterima Felda ketika mereka menjual lahan sawit ke BWPT. Apa yang Felda rugi adalah kesempatan membeli lahan itu kembali di harga market yang jauh lebih rendah.


Sebelumnya, saya memakai kutip dalam lahan ‘milik’ Felda. Konteks ‘milik’ ini perlu untuk membahas lebih lanjut apakah betul transaksi ini bahkan membuat rugi Malaysia. Perhatikan lahan yang dibeli BWPT di tahun 2014 yang saya percaya semuanya ‘milik’ Felda saat itu. Semua lahan sawit yang dibeli lokasinya di Kalimantan. Untuk membuat klaim rugi (sejauh ini kita melihat kalau Felda sebenarnya hanya balik ke posisi awalnya sebelum tahun 2014, baik secara uang maupun secara aset), itu berarti Felda menjual lahannya di tahun 2014 dengan diskon kepada BWPT. Pertanyaannya kemudian, jadi berapa besar Felda mengeluarkan uang untuk membeli lahan (sekitar 68.600 Ha) di Kalimantan pada awalnya? Saya yakin tidak ada pihak, baik dari Felda maupun Rajawali Group yang ingin menjawabnya. One sided story seperti yang diberitakan media hanya akan memberi kesimpulan, ‘it is clear that FELDA will likely seek to reverse the acquisition’. I don’t buy it.



2023 All-Time Low Has Nothing to Do with BWPT Business


Bagian ini sifatnya jauh lebih spekulasi dari bagian pertama, tapi di mata saya, bagian ini lebih penting. Sebagai perusahaan sawit, trend EVA (Economic Value Added) BWPT mirip dengan perusahaan sawit terbesar AALI dan LSIP. Kenyataan ini membuat kita bisa expect korelasi tinggi di pergerakan harga saham perusahaan-perusahaan sawit. Saya pernah membahas topik ini di analisa dahulu.


Tapi di Maret 2023 terjadi development penting: BWPT membuat new record low selagi kelemahan AALI dan LSIP tidak dibawah low 2020.

New-low price yang tidak dialami di dalam sektor perlu ditinjau lebih dalam. Siapa tahu BWPT betul-betul dalam masalah besar?


Kita akan membahas EVA di bagian terakhir, tapi di bagian ini saya akan mention singkat kalau saya tidak melihat perubahan signifikan di EVA BWPT di laporan terakhir Q1 2023, dan kita tahu kalau harga CPO walaupun sudah turun banyak dari peak 2022 masih tetap jauh lebih tinggi dari tahun 2019.


Gut feeling saya mengatakan kalau sharp drop ini memiliki kaitan dengan Credit Suisse.


Credit Suisse memiliki hubungan signifikan dengan BWPT. Ada 2 kejadian dimana Credit Suisse memiliki peran penting. Pertama, setelah membeli lahan dari Felda di tahun 2014, kepemilikan Rajawali Group di BWPT mencapai 65%. Ketika itu, Rajawali Group berbentuk entitas yang dilindungi secara legal oleh Credit Suisse dalam bentuk Credit Suisse AG SG Branch S/A PT Rajawali Capital. Secara jujur, saya tidak tahu bentuk perusahaan macam apa itu. Apa yang saya yakin adalah Credit Suisse tahu apa yang dilakukan Rajawali Group.


Kejadian kedua mungkin lebih indikatif. Sebelum menjual saham BWPT ke Felda di tahun 2017, Rajawali Group memecah perusahaannya. Perusahaan pertama tetap memakai nama original yang depannya Credit Suisse. Perusahaan kedua tidak memakai nama Credit Suisse. Hampir seluruh saham yang dijual ke Felda adalah saham yang dimiliki Rajawali Group yang memakai nama Credit Suisse.

Tidak hanya itu, keterlibatan Credit Suisse juga ada di dalam transaksi Felda. Selagi jumlah uang yang dikeluarkan Felda dalam akuisisi 37% saham BWPT hampir sama dengan jumlah uang lahan sawit yang dibeli BWPT di tahun 2014, tapi pada prakteknya, Felda membiayai transaksi saham ini dengan utang bank.


Transaksi Felda di tahun 2017 ini mengalami kendala signifikan. Pada awalnya, utang bank ini rencananya diperoleh dari Bank of America. Bank of America kemudian mundur. Tebak siapa yang menjadi pemberi kredit Felda untuk membeli 37% saham BWPT? Credit Suisse.


Kedua hal ini membuat saya yakin kalau Credit Suisse memiliki saham BWPT signifikan, terutama sebelum transaksi besar dari Felda (insider information advantage). Nilainya tidak cukup besar untuk muncul di laporan keuangan BWPT, tapi berhubung likuiditas saham BWPT sejak pertengahan tahun 2022 hampir tidak ada, jadi seandainya Credit Suisse menjual saham BWPT efeknya akan signifikan di harga saham BWPT.

Di bulan Maret 2023 secara efektif Credit Suisse, salah satu bank terbesar di dunia, telah kolaps. Ini berarti Credit Suisse harus menjual seluruh aset-aset likuid mereka, termasuk saham.


Kalau apa yang saya jelaskan di atas betul, kita bisa expect kalau ada korelasi kuat antara harga saham Credit Suisse dengan harga saham BWPT selama bulan Maret 2023.


Voila!

Tentu saja, semua ini bisa jadi hanya kebetulan.


Tapi kalau saya seandainya benar, ini berarti sharp drop di BWPT sampai menuju ke all-time low berarti tidak ada kaitannya dengan bisnis BWPT sendiri. Ini berarti ada pemain besar yang terpaksa harus melakukan fire sale. Apa ini artinya untuk investor lain? Saya tahu jawabannya untuk saya.



BWPT Debt Burden


Untuk membeli lahan sawit di tahun 2014, BWPT mengambil banyak utang bank. Kebanyakan utang bank ini berasal dari bank lokal (BNI, BRI, dan Mandiri). Sampai sejauh ini, walaupun sudah meningkat, economic profit BWPT masih negatif. Ini berarti utang bank dalam jumlah besar berpotensi menjadi masalah besar, dan utang besar ini memang menjadi masalah besar untuk BWPT hingga saat ini.


Dalam pandangan saya, kalau seandainya BWPT hancur, perusahaan ini sudah hancur di tahun 2020 atau 2021 ketika harga sawit jatuh signifikan dan bunga jangka panjang lompat. Saya pikir kondisi tahun 2020 memang kritis sebelum harga CPO akhirnya naik signifikan. Shock besar di awal pandemi 2020 ini membuat management BWPT melakukan penjualan lahan sawit terbesar yang selesai di tahun 2021. Mungkin sekarang mereka menyesal karena membiarkan ketakutan dan panik menguasai keputusan di saat apa yang kita ketahui sekarang turning point CPO. Akibat penjualan besar ini, lahan BWPT berkurang 30% dibanding tahun 2014.

Di saat tulisan ini dibuat, saya menilai risiko kredit BWPT sangat rendah. Jatuh tempo kredit-kredit besarnya di atas tahun 2027 dan harga CPO saat ini tinggi. Kalau seandainya harga CPO mengalami bull market berikutnya, seperti yang saya expect di analisa global, maka risiko kredit ini menjadi non-existent.


Bull market CPO di tahun 2021-2022 tidak memberikan turn-around bisnis yang spektakuler tidak hanya di BWPT, tapi juga AALI dan LSIP. Sebagian besar ini karena kebijakan pemerintah yang menerapkan tarif ekspor CPO. Tarif ini sempat keterlaluan parah di sepanjang bulan Mei 2022 – Juli 2022 karena tarif pajak memakai harga tertinggi CPO di bulan Maret 2022 padahal harga CPO saat itu sudah turun lebih dari 40%. Blunder besar ini saya percaya terjadi karena pengusaha sawit tidak ada yang menyangka kalau harga CPO bisa sampai setinggi itu dalam waktu secepat itu. Ketika itu, perusahaan sawit tidak bisa mempass-on tarif ke customer international karena stock CPO Malaysia masih memadai saat itu. Not the case anymore. Saya melihat saat ini kondisinya semakin kondusif untuk pass-on tarif ekspor ke customer.


Apa yang jelas sudah terjadi adalah pemerintah sekarang sudah cepat dalam merevisi harga acuan, dan sudah menurunkannya. Pada puncaknya, tarif ekspor ini sebesar 35% dari harga CPO dan sebetulnya jauh lebih tinggi di bulan Mei – Juli 2022 seperti yang tadi saya katakan (secara efektif mencapai di atas 50% di Juni – Juli 2022). Tanpa adanya kemampuan untuk pass-on ke customer, ini berarti menjual barang dengan diskon 35%. Diskon karena tarif saat ini sudah setengahnya dibandingkan dengan tahun 2021 di harga CPO yang sama dengan saat ini.

Gabungkan kedua development ini, kita bisa reasonably expect kalau diskon akibat tarif ekspor akan semakin mengecil. Selagi betul sejauh ini economic performance sektor sawit meningkat sejak dari tahun 2020, improvementnya masih belum bisa dikatakan turn-around yang sukses.

Improvement mengecewakan ini tidak hanya terjadi di BWPT, tapi juga di produsen CPO terbesar Indonesia AALI. Dari estimasi yang saya lakukan, bahkan AALI hingga saat ini juga tidak bisa mencetak economic profit (EVA) positif.

Jelas bukan improvement yang bisa diharapkan dari record high CPO price.


Apa yang bisa kita katakan tentang kondisi perusahaan sawit adalah: kondisi mereka tidak seburuk tahun 2019.


Tapi kenaikan saham perusahaan sawit membutuhkan improvement signifikan. Kunci dari improvement signifikan ini terletak dari margin, dan bergantung dari 3 skenario:

1. Harga sawit stabil, tapi diskon akibat tarif ekspor bisa diperkecil.

2. Harga sawit naik.

3. Harga sawit naik dan diskon akibat tarif ekspor diperkecil.


Jelas kalau skenario ketiga akan membawa improvement paling besar dari skenario lainnya. Saya percaya kita sedang menuju di skenario tiga ini.


Saya sudah memberikan data kalau tarif ekspor CPO sudah diturunkan. Di analisa CPO sebelumnya saya pernah menunjukan trend inventory CPO Malaysia. Malaysia akan segera mengalami pengurasan stock CPO terbesar dalam sejarah mereka di tahun ini. Kondisi shortage dari negara kompetitor ini memungkinkan perusahaan CPO Indonesia untuk pass-on tarif ekspor CPO ke customer. Harga CPO juga akan naik signifikan untuk berbagai macam alasan, salah satunya baru saya terangkan mengenai stock CPO Malaysia. Bull market CPO kali ini akan mengantar harga CPO ke all-time high, begitu juga dengan komoditas lainnya seperti yang saya jelaskan di analisa Global Market Perspective.



Looking Forward


Untuk melihat seberapa besar perubahan yang bisa terjadi di BWPT, kita bisa memakai patokan hasil tahun 2022. Dari data tarif ekspor di atas, kita bisa melihat tarif ekspor sepanjang bull market CPO 2022 sekitar 35% dari harga CPO. Ini berarti revenue BWPT (dan perusahaan sawit lainnya) 35% lebih kecil karena tarif ekspor. Di bawah ini adalah estimasi EVA yang didapatkan BWPT seandainya tarif ekspor CPO tidak ada.

Voila! EVA BWPT mencapai all-time high dan sangat positive.


Apa yang membuat semua ini terjadi adalah kenaikan signifikan gross margin yang bahkan belum mencapai puncaknya di tahun 2012 ketika harga CPO saat itu jauh dibawah harga CPO selama 6 bulan di tahun 2022.

Laju peningkatan EVA di BWPT ini melebihi dari perusahaan CPO besar seperti AALI. Ini karena starting point BWPT jauh lebih parah dari AALI.


Ketika improvement EVA yang dramatis ini terjadi, expect kenaikan dramatis di harga saham BWPT. Seberapa besar kenaikannya? Dengan memakai skenario 2022 tanpa tarif ekspor di atas, besarnya EVA yang diraih bisnis BWPT membuat target 370/share sangat konservatif di dalam estimasi saya.


Saya melakukan banyak analisa geometri untuk menjawab dimana target yang bagus untuk BWPT. Kita tidak akan melakukannya disini. Apa yang akan saya bawa disini adalah market yang mempunyai hubungan tidak langsung dengan BWPT. Perusahaan ini adalah Golden Eagle Energy (SMMT). Perusahaan ini adalah perusahaan batu-bara. Letak kesamaan mereka adalah kedua perusahaan ini dikontrol oleh Rajawali Group. Anda bisa melihat kejatuhan tajam saham ini setelah peak tahun 2015 mirip dengan apa yang terjadi dengan BWPT walaupun waktunya berbeda.


Tapi berbeda dengan BWPT, harga saham SMMT sudah meledak. Ini terjadi karena perusahaan batu-bara tidak mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah. EVA SMMT naik dramatis ke all-time high di tahun 2021 dan berlanjut ke tahun 2022. Ketika improvement bisnis dramatis ini terjadi, seringkali market meretrace 50% dari peak mereka. Angka retracement lainnya mengikuti golden ratio. Ketika EVA improvement signifikan terjadi di BWPT, saya expect hal yang serupa dengan harga saham SMMT juga terjadi di BWPT.


146 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page