Gambaran umum yang ada di media tentang saham yang naik lebih dari 1.000% selama pandemi ini adalah overvalued. Tapi, meng-quote perkataan seorang analyst, “Jadi, hitungan valuasi bisa dikesampingkan karena bicara potensi ke depan.”
Dunia saham di Indonesia masih muda. Kita tidak memiliki data historis selama satu karier seseorang. Sebelum tahun 1998, saham adalah benda asing. Bahkan tidak banyak perusahaan listed sekarang yang IPO sebelum krisis global 2008. Investor Indonesia belum mengalami bubble di sektor teknologi. Kita lihat investor US. Mereka mengalami dengan kantong sendiri kalau ternyata betul ada yang namanya bubble di awal tahun 2000 ketika semuanya gila akan dot-com. Pet shop yang punya website di IPOkan dan menghasilkan return puluhan kali lipat untuk yang beruntung bisa keluar di saat yang tepat. Kebanyakan kehilangan mimpi mereka, termasuk yang menaruh tabungan masa depan di Microsoft. Perlu hampir 15 tahun sebelum puncak Microsoft di dot-com bubble terlewati. Bill Gates sudah menjadi salah satu orang terkaya di dunia jauh sebelum investor pucuk balik ke titik nol. Sekarang generasi muda datang untuk mengulangi kesalahan sama generasi sebelumnya.
Sekarang kita lihat bank Jago. Bank ini mendapat uang banyak dari shareholder di tahun ini (2021). Ekuitasnya naik pesat 561% dari Rp 1,2 T di akhir tahun 2020, sekarang menjadi Rp 8,1 T. Pemberi modal utamanya adalah shareholder Go-Pay. Sebagai respon, investor menilai ARTO di Rp 13.000/share saat ini yang berarti PBV hampir 22x. Di bullish casenya, Nomura meramal ARTO bisa mencapai Rp 37.250/share. Morgan Stanley 21.476/share.
Pembaca lama EVA Brief seharusnya sudah familiar dengan konsep kalau PBV yang jauh di atas 1 berarti investor memiliki ekspektasi (bisa benar atau salah) kalau perusahaan tersebut akan mencetak EVA berkelimpahan. Dan itu hanya bisa dicapai apabila perusahaan bisa memiliki revenue growth fantastis sambil mempertahankan Return on Capital (ROIC) di atas cost of capital. Di bank, ROIC seringkali disubstitusi dengan ROE agar lebih mudah.
Untuk Bank Jago, saya pikir kita bisa melakukan assessment efektif untuk melihat seberapa masuk akal PBV 22x ini tanpa perlu melakukan perhitungan. Kita hanya perlu ingat PBV tinggi ini perlu revenue growth fantastis sambil mempertahankan return on capital yang tinggi. Saya pikir ini bisa diterjemahkan menjadi: Bank Jago banyak memberi pinjaman dan debitur lancar membayarnya.
Main point yang terdengar bagus dari Bank Jago adalah memberi service banking ke lapisan masyarakat yang dihindari oleh bank besar. Itu artinya mayoritas penduduk Indonesia. Sepertinya Bank Jago mencoba memasukan kaki ke segment itu. Kita bisa lihat dibawah kalau pinjaman Bank Jago berpusat pada segment household. Investor perlu ingat kalau sebelum menjadi Bank Jago di tahun 2020, Bank Artos menghindari memberi pinjaman ke household.
Mayoritas pinjaman ke household digunakan untuk konsumsi. Itu betul di laporan tahun 2020. Saya tidak mengerti bagaimana Bank Jago bisa mengganti label pinjaman untuk konsumsi menjadi pinjaman untuk investasi di Q1 2021. Saya yakin ini manipulasi management. Pinjaman ini hampir seluruhnya jatuh tempo kurang dalam setahun dan tanpa kolateral.
Berapa bunga yang dicharge Bank Jago? Di Q1 2021 tercatat 12,4%. Tapi kita perlu ingat kalau di tahun full year 2020 bunga ini mencapai 17,8%. Most likely, itu terjadi karena penalty debitur yang telat bayar. Jadi bunga ini bisa dengan mudah mencapai sekitar 17%. Saya sama sekali tidak yakin kalau utang-utang untuk konsumsi dengan bunga tinggi ini bisa lancar dibayar. Bank Jago melaporkan NPL 0%. Mungkin itu betul sejauh ini, tapi konsentrasi pinjaman di household dengan rate tinggi sudah memberikan alasan cukup untuk berhati-hati.
Dan saya pikir Bank Jago juga tidak ingin terlalu nekat setelah mendapat banyak modal baru. Seperti yang bisa dilihat di atas, loans hanya bertambah Rp 340 M (1.166 – 826), padahal modal (equity) bertambah Rp 6,9 T. Ditaruh kemana fresh moneynya? Hampir seluruhnya ditaruh di Bank Indonesia untuk mendapat bunga overnight yang sekarang memiliki rate 2,8%.
Bisa jadi uang ini akan segera dipinjamkan. Tapi dugaan saya, uang besar ini akan tinggal nyaman di BI. Mengharapkan Bank Jago akan menyediakan pinjaman ke segment household yang dihindari dengan suku bunga setara dengan bank besar terdengar seperti pipe dreams. Menaruh uang di BI untuk overnight rate jelas bukan alasan rasional untuk menilai ARTO PBV 22x. Where is the excess return? Fresh money dari Go-Pay tidak bisa berubah jadi emas bila disimpan di BI. Sebaliknya, mengharapkan pembayaran lancar dari pinjaman besar-besaran ke household untuk konsumsi dengan bunga tinggi terdengar seperti mimpi terutama dengan kondisi saat ini. Terlebih, Anda perlu melihat operating loss yang dicatat akuntan. Semakin memburuk dengan kompensasi karyawan yang melonjak.
Tapi bisa jadi saya salah. Bisa jadi sebagian besar household, termasuk segment yang dihindari bank besar, ternyata bisa melunasi kredit untuk konsumsi mereka tanpa masalah. Dan itu berarti bank besar keliru selama ini. Atau bisa juga berbagai macam aplikasi begitu terintegrasi dengan Bank Jago sehingga kebanyakan transaksi di smartphone berujung ke charge tambahan.
Tapi..dan ini penting..seandainya hal-hal indah itu betul terjadi...seberapa besar kemungkinan kalau investor saat ini sudah tahu hal itu akan terjadi sehingga market value ARTO saat ini 22x book valuenya?
Dalam pandangan saya, pertanyaan tadi adalah pertanyaan paling penting. Biasanya saya memberikan estimasi pada point ini untuk menjawab pertanyaan itu. Kali ini tidak karena mengestimasi economic profit sektor banking/finansial sangat problematik dan saya tidak merasa ARTO worth the trouble. Dugaan saya, dengan PBV 22x, ekspektasi investor sudah sangat tinggi sampai-sampai skenario terbaik dari management jauh di bawah ekspektasi tersebut. Realita biasanya jauh dari skenario terbaik dan menghancurkan hati untuk ekspektasi yang selangit. Saya tidak mengerti mengapa pertanyaan sangat penting itu absen dalam hampir semua analisa yang pernah saya baca. Mungkin karena sebagian besar analyst merasa “potensi ke depan” sudah cukup.
*Menghitung economic profit bank/finansial itu problematik. Salah satu alasan utamanya karena uang investor (dan deposito nasabah) dilipatgandakan oleh bank ketika membuat pinjaman yang menjadi aset bank. Disinilah sebagian besar keajaiban 'money from thin air' terjadi. Besarnya lipatganda ini dibatasi dengan reserve requirement yang diatur oleh BI. Saat ini BI dan bank sentral lainnya mempunyai cara kreatif lainnya untuk memperbesar multiplikasi ini. Kalaupun ada cara untuk mengukur economic profit sebuah bank, estimasi tersebut akan lebih unreliable dibanding industri lainnya.
Comments