Kita mempunyai tendensi untuk menganggap kejadian lama sebagai kurang relevan lagi dalam melihat sekarang. Kata ‘lama’ ini semakin pendek dalam arti absolut. Kejadian tahun lalu kita bilang sudah lama, apalagi 2 tahun yang lalu. Kita melihat kelemahan ekonomi sekarang dan mencoba menerapkan one-size fits all dengan pandemi yang ‘now happening’.
Banyak yang tidak menyadari kita masih hidup di bayang-bayang krisis global 2008 yang mempercepat laju inequality dan rendahnya investasi yang menciptakan good quality jobs. 6 bulan lebih sejak pandemi, kita sekarang bisa dengan cukup mudah merasakan gap inequality (mulai dari orang-orang yang harus mengambil risiko dengan berdesakan di kereta api untuk gaji yang dipotong) dan betapa rapuhnya job market terutama untuk kalangan muda.
Survey dari World Bank memperkirakan investasi riil asing (bukan ke financial assets) ke developing markets akan dipotong sekitar 50% tahun depan. Tapi Bank Indonesia masih menyertakan V-shaped recovery di tahun depan di monetary reportnya yang terakhir saya baca sekitar 1-2 bulan lalu. Disconnect dengan reality ini saya sangat yakin juga akan (dan mungkin memang sedang) terjadi di pasar saham.
Selagi saya bisa mention beberapa saham yang terdisconnect dengan realitanya (yang bisa dibaca di EVA Brief lain), contoh paling baru yang saya lihat terjadi di JSKY. Jadi, selagi di analisa ini tujuan saya adalah mengupas apa yang krusial terjadi di PGAS dan dari itu, seberapa reasonable harga sahamnya saat ini, harga saham PGAS tentunya bisa lepas terdisconnect dari realitanya.
‘Disconnect dengan real economy’ ini menjadi alasan lain (selain teknikal) saya untuk memilih BBNI baru-baru ini. Ketika pemerintah makin panik dan meminta BI untuk print more money, palingan uang itu larinya akan ke saham sektor banking. Tentu saja, saya tidak akan memasukan uang jumlah serius untuk alasan seperti ini. Cukup ramblingnya. Let’s get down to business.
Kejadian ‘game changer’ di PGAS terjadi 2 tahun lalu ketika Pertagas dilebur dengan PGAS. Detail transakinya tidak sepenting dibandingkan dengan efeknya.
Dengan mengakusisi Pertagas, hampir 100% pipeline gas di Indonesia dimiliki oleh PGAS. Panjang pipeline yang dimiliki PGAS langsung double di tahun 2018. Saat ini panjang pipelinenya 4.751 km.
Pipeline menjadi usang dan akhirnya diganti atau setidaknya perlu maintenance berkala. Di perhitungan economic profit, kita mengakui kalau aset seperti pipeline tidak eternal. Aset ini ibarat dikonsumsi oleh perusahaan sampai sudah tidak berguna lagi. Biaya konsumsi ini diestimasi sebagai depresiasi. Untuk mempermudah, saya mengartikan biaya depresiasi PGAS sebagai biaya maintenance pipelinenya.
Dengan doubling pipelinenya, biaya maintenance ini otomatis juga membesar. Di samping itu, melebur dengan perusahaan besar biasanya juga diiringi dengan overhead costs yang lebih besar dan biaya yang timbul karena infisiensi. Biaya-biaya ini tidak fleksibel terhadap perubahan revenue. Tanpa adanya kenaikan harga gas, biaya maintenance dan inefficiency ini menjadi barier signifikan PGAS untuk economically profitable (bukan net income).
Signifikansi dari kenyataan ini besar: PGAS has little chance untuk memiliki value di atas invested capitalnya.
Impact negative akuisisi ini bisa terlihat jelas dengan melihat kecilnya NOPAT margin saat ini dibanding tahun 2015 padahal gross marginnya sama.
Chart di atas memperjelas kalau impact akuisisi PGAS terhadap economic profit di tahun 2018 itu di-boost oleh kenaikan gas price. Booster ini sudah hilang.
Kondisi PGAS di sepajang tahun ini diperparah dengan sedikit kontraksi revenue akibat PSBB. Management tampaknya yakin pretty much kuantitas produk yang dijual PGAS tetap sama seperti tahun lalu.
Tapi kontraksi sales sejauh ini bukan penyebab utama mengapa economic profit PGAS memburuk sejak tahun lalu.
Berhubung pipeline adalah pipeline, opsi PGAS untuk meningkatkan economic profitnya jatuh di antara: meminimalkan inefficiency, pay less tax, dan mengharapkan gas price memulai uptrendnya.
Another important point to make at this point, PGAS is hardly could be called cheap.
Chart di bawah menunjukan dengan jelas kalau investor secara konsisten masih menaruh harapan better days, mengharapkan growth in EVA tomorrow seperti yang ditunjukan dengan bagian abu-abu yang selalu positif. Hal ini memiliki konsekuensi ketika real EVA performance PGAS menyimpang.
Belum lama ini ada yang menunjukan saya sebuah penelitian yang mencoba menunjukan kalau EVA has nothing to do with share price. Tentunya kalau EVA tidak punya hubungan dengan share price, EVA tidak memiliki tempat di big companies asing dan tidak dipakai di perusahaan money management kelas kakap. But it did. Coca-Cola dan BMW (to name a few) mengadopsi EVA sebagai target utama perusahaan*, Fidelity mengintegrasikan EVA ke dalam investment framework mereka, McKinsey menggunakan economic profit ketika memberikan big assessment suatu sektor, dan buku EVA Best Practice mendapat praise dari author buku tebal yang harus Anda baca untuk pass CFA exam level 1-3.
(*granted, most companies tidak. Saya tidak pernah menemukan perusahaan terbuka Indonesia yang mengadopsi EVA atau mengkomunikasikannya ke investor di annual report)
Hal terpenting untuk saya adalah, it works (dan hasil present value EVA exactly the same dengan free cashflows). Sejauh ini EVA sangat membantu saya dalam memahami bagaimana fundamental suatu perusahaan mempengaruhi harga sahamnya, dan tidak kalah penting, apa yang terjadi ketika harga saham tidak sinkron dengan fundamentalnya. Sejauh mana Anda bisa spesifik dalam mengartikan kalimat tadi makes a very big difference.
Chart di bawah menunjukan, I hope convincingly, apa yang terjadi dengan harga saham PGAS ketika pertumubuhan EVA real (EVA momentum) melenceng dari implied expektasinya yang saya dapat dengan proses reverse engineering discounted EVA. EVA outperformance adalah selisih EVA momentum real dengan EVA momentum yang diexpect oleh investor.
Investor PGAS merasakan angin sejuk di tahun 2018. PGAS naik sekitar 40%. Tidak mengherankan bila Anda melihat dengan kaca mata EVA. Tidak hanya EVA naik di tahun 2018, tapi juga melesat melebihi ekspektasi investorya. Selain dari tahun 2018, EVA terkontraksi selagi investor mengharapkan growth. Apa yang kemudian terjadi adalah hal yang biasa terjadi.
Seperti yang bisa dilihat dari chart dekomposisi share price, saat ini investor masih mengharapkan EVA growth walaupun sudah berkurang. Kalau EVA ternyata tidak bisa grow (kalau tidak tahun ini, di tahun depan), the odds are against them. Pada point ini, tidak cukup untuk investor merasa optimist karena PGAS sudah tidak berinvestasi besar sejak akuisisi Pertagas. Ada yang ingin invest di PGAS? Potential investor sebaiknya mempunyai ide bagus mengapa EVA PGAS bisa grow. I think the odds are against them.
Di tahun 2018 selagi EVA growth memberikan justifikasi terhadap kenaikan saham PGAS, tapi investor took it too far dengan menilai PGAS sebagai wealth creator (EV/Capital > 1). They paid the price dearly for ignoring reality.
Technical Charts
PGAS tampaknya berfluktuasi di angle bawah ini. Extend them, angle lines ini sangat mungkin akan tetap berperan penting bahkan untuk 5 tahun ke depan.
My guess is PGAS akan menuju ke lower angle sebelum menemukan important support berikutnya. (Baca juga analisa PGAS sebelumnya untuk perspektif triangle yang dibentuk).
Chart di bawah menunjukan signal RSI mentok di bawah MAnya. Very important signal. (chart ini digambar sekitar 2 minggu lalu. PGAS turun smoothly sejak itu).
Lower angle berikutnya menandakan support berikutnya di sekitar lowest point PGAS in history di tahun 2004. Di EVA analysis, saya telah menunjukan PGAS saat ini masih ditopang ekspektasi EVA growth. Absen dari ekspektasi tersebut, PGAS could easily reach that lowest point. That would be a point dimana saya bisa bilang investor telah menjadi sangat pesimistis. Right now, they are not.
Sip. Thanks for the info 👍
Tgka, di ar nya pake Eva seingat saya, bisa dibahas tu pak 👍