top of page
Cari

Lessons from A Failed Investment: GMFI & Update Q3 2020

Gambar penulis: Rio AdrianusRio Adrianus

Quality experience menurut saya adalah kegagalan dimana kita bisa mempelajarinya, setidaknya di investasi. Untuk itu, kita perlu memilki working definition apa itu yang bisa disebut kegagalan. Banyak investor newbie yang saya kenal pribadi dan secara online mematok kegagalan dengan paper loss. Kebanyakan melihat paper loss seperti minus 30% sudah gagal total. Menurut saya standard mereka terlalu tinggi, bisa saya sebut arogan. Newbie memiliki ekspektasi selangit. Semua orang ingin market langsung naik tidak lama setelah mereka beli. Ketika realita datang, kebanyakan memilih jalan yang lebih berisiko yang seringkali mengarah ke total wipe out portfolio mereka. Dan sebagian yang masih bertahan, apabila tidak bisa menemukan cara untuk mengupas kegagalan mereka dan mencari cara untuk lebih baik, pada ujungnya menjadi sinis. Keputusan yang mereka ambil didasari dengan kesimpulan kalau pasar saham tidak lebih dari judi random yang sering dimanipulasi. Menaruh uang besar di kasino jelas bukan tindakan yang bertanggung jawab.


Definisi investasi gagal saya sederhana: itu adalah investasi yang saya nilai hampir tidak mungkin uang saya kembali lagi. Permanent loss, bukan sekedar paper loss. Selagi definisi ini sederhana, bagaimana saya menilai membedakan saya dengan Anda. Dari seluruh investasi saya yang signifikan, saya menilai GMFI adalah investasi gagal.


Ketika GMFI akan IPO di sekitar akhir tahun 2017, saya hadir di pameran pre-IPO. Setelah event tersebut, saya membuat analisa dengan informasi yang saya dapat di event dan prospektusnya. Needless to say, saat itu saya tidak mengerti apapun tentang EVA dan bagaimana membuat valuasi selain dengan asumsi cashflow to infinity (that is, discounted cashflows - DCF). Jadi tentunya, ‘stories’ mendominasi penilaian saya. Atraksi GMFI bisa dirangkum menjadi 2 hal:


1. Orang akan semakin rajin travel dengan pesawat (yang mana betul pre-pandemi)


2. Pesawat perlu diservice, dan ijin untuk itu ketat. GMFI sebagai anak Garuda jelas punya ijin, dan terbesar di Indonesia. There, barrier to entry. Compatitive advantage, at least on paper.


Terlebih, EBITDA margin GMFI di 2016, data terakhir di prospektusnya, sangat tinggi, lebih tinggi dari pemberi service pesawat negara lainnya. Seingat saya, tidak ada seorang analyst yang hadir yang bertanya mengapa EBITDA marginnya naik tajam di 2016. Kalaupun ada keresahan, itu ada di ketergantungan dengan Garuda. Manajemen saat itu yakin GMFI akan segera memberi service lebih banyak ke pesawat asing yang hinggap di Indonesia. Saya terlalu senang melihat barrier to entry.


Di saat itu, saya tidak melihat bagaimana mungkin investasi di GMFI gagal. GMFI IPO di sekitar 410/share. Saya senang mendapatnya di sekitar 330/share. Sejak itu, GMFI tidak pernah kembali ke harga IPO dan sempat menyentuh 57/share belum lama ini tanpa ada reasonable basis yang bisa saya lihat untuk membuat harga sahamnya kembali ke harga IPO possible.


Terlalu mudah untuk menyalahkan semuanya dengan pandemi. Newbie melihat dengan berita panas terbaru. Tapi saya membuat keputusan dengan informasi paling mentok di pertengahan 2017. Saya tidak bisa melihat masa depan, tapi saat ini saya memilki framework berbasis EVA. Could I do it better back then? Untuk saya, ini adalah test krusial untuk melihat apakah suatu metode memiliki manfaat atau tidak. Kalau metode itu tidak membuat saya melihat pilihan yang lebih baik, it’s not useful. Kalau Anda pikir ini hal mudah, pertimbangkan kalau koran Bisnis Indonesia secara persisten memberi berita baik tentang GMFI sepanjang tahun 2018. Kita mulai.



GMFI sebelum IPO adalah cerita sukses di buku economic profit dengan ROIC sempat mencapai 41% di puncaknya tahun 2016. Tapi kalau seandainya fungsi EVA hanya sebatas untuk melihat naik turun performa, di GMFI, EVA tidak memberikan alasan mengapa investor perlu capek-capek menghitung EVA ketimbang melihat readily avaliable net income. Tapi seperti berulang kali saya katakan, mengetahui EVA (performance) hanya setengah jalan. Itu bagus, tapi jauh dari cukup untuk membuat keputusan investasi. Kita perlu framework untuk menjawab bagaimana menerjemahkan performa perusahaan (performance) menjadi harga beli saham (value) yang masuk akal. EVA membuka jalan cerah untuk melihat value dengan jernih. Jauh lebih jernih dari praktik DCF growing cashflow to infinity. Sayangnya, banyak yang tidak mengerti betapa pentingnya tahapan berikutnya ini. Kalau seandainya ‘margin of safety’ adalah konsep terpenting dalam investasi, mereka kehilangan konsep tersebut.


Kalau seandainya kita punya mesin waktu, logika sederhana akan melarang kita untuk berinvestasi di GMFI ketika dia IPO. Tapi saya tidak punya. Margin of safety adalah prinsip untuk kita yang tidak bisa meramal.


Kita melihat dengan mudah kalau situasi di tahun 2016 sangat baik untuk GMFI. Ini karena manajemen berhasil menekan biaya karyawan sehingga tidak ada kenaikan walaupun revenue naik 26%. Inilah alasan utama mengapa EBITDA margin GMFI di tahun 2016 jauh lebih tinggi dari peers internationalnya. Dari point ini saja, investor yang jeli tahu kalau kondisi emas ini kemungkinannya besar tidak sustainable.

Dari kalkulasi saya, EVA GMFI di tahun emas itu sebesar Rp 710 M. Dengan cost capital 12%, jika economic profit itu bisa dimaintain, GMFI akan memiliki NPV sebesar Rp 5,9 T atau 230/share. Di saat itu, net capital GMFI sebesar 44/share. Jumlahkan keduanya, maka ada alasan bagus mengapa prudent investor tidak membeli GMFI di atas 280/share...dengan data yang publicly available ketika IPO. Harga IPO di 410/share hanya bisa dijustify dengan ekspektasi investor yang mengharapkan performa GMFI akan lebih baik lagi dari tahun 2016.

Investor yang skeptis dengan EVA source GMFI di 2016 (suppressed employee wages), akan mengincar di bawah 280/share. Yang jelas, mereka angkat tangan ketika IPO melantai di 410/share.


Terlebih, berhubung GMFI baru melantai di Oktober 2017, hasil kuartal kedua 2017 seharusnya terbit tidak lama (atau mungkin berbarengan) ketika GMFI IPO. By then, investor yang up to date tahu kalau EBITDA margin 2016 tidak bisa dipertahankan.


Very interestingly, value investor yang memilih untuk mempertahankan optimismenya dan melihat deal di 280/share (garis horizontal di chart bawah) memiliki kesempatan selama hampir 2 tahun untuk keluar at no loss, dan bahkan bisa sedikit gain. Interestingly, level tersebut secara teknikal mendekati level resisten signifikan.

By early 2019, investor seharusnya sudah mendapat gambaran jelas kalau optimisme mereka sewaktu IPO terbukti salah. Dan tanpa mengetahui masa depan kalau EVA GMFI bisa sangat jeblok di tahun 2018, value investor yang menerapkan margin of safety juga salah.


Perbedaannya, value investor tersebut memiliki banyak kesempatan keluar dengan sedikit gain, sedangkan investor biasa lainnya seperti saya, yang dikendalikan oleh berita dan presentasi perusahaan, memakan permanent loss. Keduanya tidak tahu masa depan. Tapi hasilnya jauh berbeda.


Di tahun 2018, ketika GMFI membentuk spike, saya melihatnya sebagai impulsive wave (Elliott Wave), yang berarti awal sesuatu yang indah setelah koreksi. Pattern yang saya expect adalah zig-zag yang berarti kemungkinannya besar harga IPO bisa ditembus. Did not happen. Seandainya saya mengerti ketika itu bagaimana menggunakan EVA ke dalam framework investasi saham yang saya miliki saat ini, saya akan tahu kalau ekspektasi itu tidak memilki landasan real. Elliott Wave tetap memilki role dalam analisa saya (baca analisa AALI), tapi yang berbeda sekarang adalah EVA menjadi tools yang tidak tergantikan.


Bagaimana dengan sekarang?


Pandemi menonjolkan masalah lama dan mendatangkan masalah baru yang menghasilkan kontraksi EVA terbesar dalam sepanjang sejarah GMFI.


Masalah di working capital terjadi sejak tahun 2018 ketika Garuda mengakuisisi Sriwijaya Air yang kolaps karena hutang. Efeknya adalah penundaan pembayaran dari Garuda (dan Sriwijaya) ke GMFI diperpanjang. Situasi ini belum banyak berubah hingga sekarang.


Hal yang baru adalah biaya komponen tampaknya semakin mahal. Suku cadang pesawat yang dipakai GMFI dibeli dari pihak luar (subkontraktor). Seiring dengan relaksasi lockdown, kita bisa expect normalisasi di biaya suku cadang. Selain itu, tampaknya GMFI mendapat tekanan untuk mempertahankan pegawai sebisa mungkin selama pandemi. Kedua hal ini menyebabkan EBITDA margin turun drastis dari 8,3% di tahun 2019 menjadi -11,5% di LTM Q3 2020.


Kita bisa mengharapkan improvement di tahun ini karena normalisasi biaya suku cadang yang bisa terjadi secara gradual. Tapi pandemi telah mengubah GMFI sampai ke intinya. Sekarang operasi GMFI hampir seluruhnya berjalan karena hutang. Jumlah net asset yang bisa diklaim shareholder setelah membayar kreditor sangat minim. Itupun juga dengan management asset yang menghasilkan economic profit negative yang sangat besar untuk alasan di atas.


Tanpa adanya improvement miracle, sulit untuk saya melihat value positive di GMFI. GMFI di mata saya adalah distressed company. Investor tanpa spesialisasi khusus lebih baik memilih saham yang lain. Saat ini investor menilai GMFI sebagai wealth creator dengan EV/Capital 1,4. Saya pikir mereka salah. Butuh sebuah keajaiban GMFI bisa mencetak EVA positive seperti tempo dulu. Kalaupun ada improvement di biaya spare parts, GMFI tetap akan jauh dari economic profit positif sebelum kondisi working capital membaik secara signifikan.


Saya tidak heran kalau GMFI akan kembali ke tangan Garuda. Kondisi almost 100% debt dependent ini secara efektif membuat GMFI tunduk sepenuhnya dengan Garuda. It would be good kalau seandainya kembali privat, Garuda membelinya dari tangan investor dengan harga IPO. Tentu saja tidak ada alasan bagus mengapa setinggi itu. But it happens from time to time. Akuisisi Holcim (SMCB) oleh SMGR memberikan contoh yang masih fresh di ingatan saya.


101 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

ความคิดเห็น


© 2024 by Rio Adrianus

  • Black Twitter Icon
bottom of page