top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

Global Market Perspective: The Calm Is Ending, Storm Is Coming - Part 1

Sekitar 7 bulan yang lalu, saya melakukan global intermarket analysis yang dimulai dengan Hang Seng (indeks market China), kaitannya dengan global banking sector, kemudian dilanjutkan dengan komoditas dan local currency (rupiah vs dollar). Apa yang mendorong saya membuat analisa tersebut adalah posisi Hang Seng saat itu ketika China mengalami krisis di sektor property (yang belum selesai hingga saat ini). Saya melihat high probability kalau Hang Seng akan menembus long-term trendline yang mensupport Hang Seng sejak tahun 1990. Trendline tersebut sekarang sudah patah. Analisa yang saya lakukan dengan menggabungkan berbagai market membuat saya semakin yakin kalau kondisi global akan menjadi semakin parah untuk tahun-tahun ke depan semenjak trendline di Hang Seng ditembus. Kemerosotan kondisi global ini saya expect tercermin terlebih dahulu di saham banking dan market indeks DAX (Germany).


6 bulan kemudian sejak analisa itu dibuat, apa yang kita hadapi sekarang? Hang Seng akhirnya menembus long-term trendline dan jatuh tajam. Perang di Ukraine secara signifikan menjadi lebih parah (bagian ini perlu mendapat bagian khusus nanti). Hubungan US – China menjadi semakin berbahaya dengan langkah signifikan terakhir diambil oleh US untuk mematikan industri semiconductor China dan kasus the air baloon. Lepas dari krisis COVID (kita hanya bisa berharap kalau variant COVID berikutnya tidak mematikan), dunia berada di point yang semakin berbahaya di semua aspek: geopolitical, ekonomi, dan climate change. Di akhir Januari 2023, Bulletin of the Atomic Scientists memajukan Doomsday Clock ke 90 detik – “the closest to global catastrophe it has ever been.” Tapi kita belum melihat collapse di seluruh banking sector equity secara serempak*.


Di awal tahun ini, China akhirnya membubarkan lock-downnya dengan konsekuensi healthcare yang disembunyikan. Bersamaan dengan itu, kita juga melihat market recovery yang dimulai dengan Hang Seng dan kemudian menyebar ke sektor global banking. Gas price turun signifikan karena Europe mengalami iklim summer di musim winter – thanks to climate change. Sepintas kelihatnnya kita sudah melewati periode gelap di tahun 2020-2021. Tapi dalam pandangan saya, periode saat ini adalah transisi; ‘the calm before the storm’. The storm will be coming - soon - and it will be a long one. Saya pikir small bull rally di Hang Seng sudah berakhir dan sekarang Hang Seng melanjutkan trend big bear marketnya. Alasan utama saya membuat analisa 7 bulan lalu adalah Hang Seng yang sekarang sudah bisa saya katakan dengan high confidence telah memasuki bear market. Kali ini tanda failure berikutnya terjadi di banking sector Europe. Domino di arena global lanjut jatuh.


Media mainstream memberi kesan kalau tahun bermasalah mungkin hanya akan terjadi di tahun ini saja (resesi tahun 2023), kemudian di tahun-tahun berikutnya kita kembali recovery. I think that would be a big mistake.


Analisa ini menjadi lebih panjang dari analisa global sebelumnya. Selagi ‘general trend’ analisa ini tidak berubah dari sebelumnya, tapi development perang di Ukraine telah membuat outlook di komoditas menjadi jauh lebih buruk dari 7 bulan yang lalu. Analisa ini akan saya bagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama membahas krisis global banking dari sudut pandang intermarket analysis. Setelah membahas kondisi global banking, berikutnya kita akan melihat development debt bubble di Indonesia. Debt bubble ini adalah bahan bakar yang membuat saham big banks Indonesia seperti BBCA terlihat seperti ‘investasi yang pasti-pasti saja**’.

*Tulisan ini pertama dibuat di awal Februari 2023. Sekarang tanda-tanda big bank failures sudah semakin terlihat dengan kejadian penutupan Sillicon Valley Bank.


**Referensi untuk talkshow dari BCA Sekuritas pada 8 Februari 2023 yang berjudul Resolusi Investasi 2023: Pilih yang pasti-pasti aja!


Jump to section:



 

Fed Rate Path? Follow the 10 Year Bond Trend


Kita mulai analisa ini dengan Fed rate. Di analisa terakhir, ada pembaca yang bingung mengapa saya tidak membahas Fed rate. Lagipula, semua media berfokus pada Fed rate. Dalam pandangan saya, Fed rate mengikuti 10-year bond. Ingin tahu trend Fed rate ke depan? Lihat 10-year bond.

Pandangan saya mengatakan keputusan the Fed sangat dipengaruhi oleh keputusan investor di bond market berdurasi panjang (10 year) yang tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh The Fed. The Fed pada akhirnya akan mengikuti market. Dengan pemahaman itu, sekarang kita lihat lebih detail 10-year bond yield di chart bawah ini.

Long term trend 10-year bond sudah berubah menjadi bullish. Long term yield baru saja testing important support dan sudah mulai melanjutkan trendnya kembali. Saya expect long term yield setidaknya akan mencapai peak ‘the great moderation era’ di 5,2%. Expect Fed rate akan mengikuti trend 10-year bond. Kenaikan interest rate yang diimply chart di atas akan memiliki dampak negatif besar di dunia yang berada di debt bubble selama lebih dari 12 tahun. Kita akan kembali melihat debt bubble ini di bagian bank BCA.



Update: Silicon Valley Bank collapse membuat banyak analyst berpendapat kalau The Fed akan menghentikan kenaikan Fed rate. Perhatikan US 10 year yield. The Fed tidak bisa dengan mudah mempengaruhi 10 year yield. Ini adalah domain long term creditor/investor. Apabila investor mulai tersadar kalau inflationary force datang kembali, spread antara 10 year yield (long term investor) dengan 3 month yield (The Fed) akan membesar. Semakin besar spread ini, semakin The Fed tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti trend 10 year yield.



Intermarket Bank Analysis


Di analisa global sebelumnya, saya membuat point kalau saat ini kita sedang berada dalam tahap awal global market crash yang diawali dengan pecahnya bubble di property China yang kemudian membawa market crash di Hang Seng. Hang Seng menjadi domino global market pertama yang jatuh. Kebanyakan media menaruh fokus di tingkat extreme money printing the Fed. Tapi the Fed tidak sendirian. Semua major economies melakukannya. Konsekuensinya? That’s the big question. Notice rapid rise money printing PBoC (China) baru-baru ini semenjak China meninggalkan zero Covid policy.

Buku terbaru Nourel Roubini yang berjudul Megathreats mendeskripisikan secara lebih detail konsekuensi dari extreme money printing policy di atas. To quote Roubini, “Everything points toward a coming Great Stagflationary Debt Crisis.” Ada 3 komponen kata penting disini: Great – Stagflationary – dan Debt Crisis. ‘Debt crisis’ adalah default wave dimana-mana. ‘Stagflationary’ adalah periode dimana tidak ada GDP growth tapi inflasi tinggi; setidaknya lebih tinggi dari apa yang dianggap normal. ‘Great’ mengindikasikan magnitude (seberapa besar tingkat default rate dan inflasi) dan durasi (seberapa lama). Put it all together dengan emphasis kalau fenomena ini akan terjadi secara global.

Sebagai overall picture, saya membawa kembali chart Hang Seng dengan ‘weak banks’ dari analisa sebelumnya.


(Note: chart dibawah ini diambil ketika analisa ini pertama dibuat di awal Februari 2023. Posisi beberapa weak banks, terutama Credit Suisse dan Deutsche Bank semakin buruk sejak itu).

Key point dari chart di atas adalah recent downturn semua weak banks telah terjadi ketika Hang Seng jatuh dari long-term trendline di akhir Januari tahun ini. Lunar New Year menandai kelanjutan bear market Hang Seng (lihat peak terakhir Hang Seng). Lebih dari itu, jelas kalau ada satu bank yang paling lemah di antara major banks lainnya: Credit Suisse (CS). Bank Swiss ini adalah domino besar berikutnya yang collapse setelah Hang Seng.


Chart di bawah ini menunjukan detail apa yang terjadi. Pada tanggal 11 Februari 2023 CS menunjukan technical sign yang sangat bearish dengan gap, big down bar dengan volume massive.

Apa yang membuat sharp market drop CS ini penting adalah event ini disertai dengan all-time high Credit Suisse CDS (Credit Default Swap) spread. Apa yang dikatakan grafik CDS spread dibawah ini adalah investor mempunyai very high confidence kalau Credit Suisse akan default. Di periode yang sama, mungkin sampai saat ini, nasabah CS ramai menarik uang tabungan mereka dari rekening di Credit Suisse. Investor secara implisit mengatakan kalau kondisi CS saat ini sudah jauh lebih buruk dari ketika Financial Crisis 2008 terjadi. Keep in mind kalau di tahun 2008-2009 China baru dalam tahap awal debt bubble, dan sekarang debt bubble mereka di property sudah pecah. Berbeda dengan financial crisis 2008, kali ini tidak ada major economies yang terlepas dari debt bubble.

Dalam pandangan saya, CS sebagai bank terlemah di antara ‘weak banks’ adalah burung canary yang berkicau duluan. Dugaan saya, CS memiliki exposure besar di credit market Germany yang situasinya hanya akan semakin parah semenjak pipa gas Nordstream rusak permanent. Default wave sudah mulai terjadi di Europe. It will be getting worse. Credit rating agency S&P memperkirakan credit default Europe di tahun ini akan kembali ke level terparah saat pandemi terjadi. To quote analyst dari Fitch, “Limited refinancing alternatives for an increasing number of issuers with high leverage and principal maturities from 2023 to 2025 contributes to the increase in our European 2023 and 2024 default rates.” Data dari Bloomberg dibawah ini mendukung pandangan kondisi default hanya akan semakin parah, terutama di tahun 2025 ketika leveraged loans (utang untuk menutup utang lama) jatuh tempo dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari tahun 2023-2024.

Weak banks lainnya akan menyusul (kategori weak banks dan strong banks berdasarkan price action mereka sejak krisis 2008-2009 dijelaskan di analisa sebelumnya). As a matter of fact, bank Korea (KB Financial) telah jatuh keras semenjak price chart CS di atas diambil.

Jelas untuk saya kalau saat ini Bank Bukopin (BBKP) dalam masalah yang sangat besar karena investor besarnya (KB Financial) juga sedang bermasalah. Investor BBKP berharap kalau seandainya situasi memburuk, KB akan membail-out Bukopin. Saya pikir peluangnya kecil itu bisa terjadi. Analisa intermarket di atas menunjukan dengan jelas kalau masalah di global banking bersifat sistemik.


Apa yang terjadi di weak banks akan merambat ke strong banks. Chart di bawah ini menunjukan dengan jelas hubungan antara strong banks (JP Morgan) dengan weak banks (Deutsche bank dan Sumitomo). You can’t separate them.

Ketiga bank di atas (JPM, DB, dan SMFG) saat ini terlihat bullish*.Tapi saya pikir potensi kenaikan lebih lanjut sangat terbatas. Seperti yang saya katakan, pandangan saya melihat CS sebagai burung yang berkicau duluan. Dengan mempertimbangkan kondisi Germany saat ini yang hanya menunggu waktu sebelum energy crisis datang lagi, saya pikir tidak sulit untuk membayangkan Deutsche Bank (DB) mengikuti trend CS.


*Update: Deutsche Bank (DB) dan Sumitomo (SMFG) sudah jatuh keras di 2 minggu terakhir mengikuti apa yang terjadi di CS dan KB. CS jauh lebih parah dengan terus-menerus membuat new low. Sekali lagi, saya melihat CS sebagai pertanda awal di global bank crises yang akan/sedang terjadi.


Mengapa saya menaruh perhatian di JP Morgan (JPM)? JPM adalah global bank yang saya kategorikan ke dalam strong banks di analisa sebelumnya. Big banks Indonesia termasuk ke dalam kelompok strong banks. Apa yang terjadi dengan JP Morgan akan memiliki impact besar dengan big banks Indonesia seperti BCA, Mandiri, dan BRI. Ketiga bank ini adalah tulang punggung IHSG.


Tapi sebelum kita beralih ke BBCA, saatnya kita mempertimbangkan posisi Deutcshe Bank (DB) terlebih dahulu. DB memegang peranan crucial kali ini. General collapse akan kita lihat ketika S&P 500 mengalami fase meltdown. Kita belum di fase ini. Dugaan saya, fase meltdown ini akan ditrigger oleh kelemahan di German DAX (historically, German Dax adalah leading market untuk S&P 500). Sejauh ini German DAX masih kuat seperti halnya dengan Deutsche Bank (DB).


Di analisa sebelumnya, saya melihat lebih dalam apakah indeks DAX dan DB yang saat ini terlihat kuat memiliki lobang fatal di dalamnya. Kita telah melihat kelemahan yang jelas terlihat di Credit Suisse (CS), tapi saya perlu melihat sesuatu yang lebih lokal untuk konfirmasi.



Germany Car Manufacturers


Apa yang membuat ekonomi Germany berjalan adalah industri manufaktur mereka, dan apa yang membuat industri manufaktur mereka berjalan adalah cheap natural gas dari Rusia yang sudah di tailor-fit untuk bisa langsung digunakan industri German. Sekarang, gas dari Rusia itu sudah hilang dan sebisa mungkin diganti dengan LNG dari marginal suppliers. Saya tidak bisa melihat bagaimana gas price yang setidaknya 7x lebih mahal dari market price bisa membuat industri manufaktur German economically viable. Saya mempunyai alasan kuat untuk mempercayai kalau bullish leg-up German DAX (dan DB) saat ini adalah artificial dengan core yang kosong. Ekonomi terbesar EU berada di ambang kehancuran dengan member states lainnya (dengan pengecualian France) berada di ujung debt default masal.


Di analisa sebelumnya, pilihan saya untuk reality check kondisi German DAX (dan DB) saat itu adalah Mercedes Benz Group. Sekarang kita akan menambahkan BMW dan Volkswagen untuk gambaran yang lebih komprehensif.

What do we have here? Divergence antara Volkswagen dengan BMW dan Mercedes Benz. Divergence ini dimulai sebelum invasi Rusia terjadi dan menjadi semakin jelas setelah invasi. Ada 2 interpretasi disini. Pertama, Volkswagen berbeda dengan Mercedes Benz dan BMW. Pandangan kedua, mereka sama.


Pandangan pertama (mereka berbeda) mempertimbangkan kalau Mercedes Benz dan BMW memiliki banyak pabrik manufaktur di luar Germany, khususnya di US dan China, sedangkan manufaktur Volkswagen jauh lebih terpusat di German.


Di pandangan kedua (mereka sama), walaupun Mercedes Benz (MBG) dan BMW memiliki pabrik manufaktur di luar EU, tapi manufaktur mereka tetap dominan di Germany dan sekitarnya, terutama ketika kita mempertimbangkan lokasi manufatur spare parts mereka.

Saya mengambil pandangan kedua ini. Market meltdown di BMW dan MBG hanya tinggal menunggu waktu yang tidak jauh dari sekarang. Watch them closely. Downturn di BMW dan MBG akan diiringi dengan downturn di Deutsche Bank (DB). Ketika domino akhirnya jatuh di S&P 500 yang kita lihat juga di kategori strong banks (JP Morgan dan Bank of America), market meltdown di IHSG hanya tinggal perkara waktu. Ketika itu terjadi, expect capital outflows massive yang memiliki dampak kenaikan di long-term rate dan pelemahan rupiah secara signifikan. Dimana fase bear market IHSG akan paling terasa? Di komponennya yang paling dominan saat ini: big banks yang dipimpin oleh BBCA.



Important Update: 10 Maret 2023


Di minggu kedua bulan Maret terjadi development crucial yang semakin memvalidasi analisa di atas dan analisa 7 bulan lalu. Apa yang belum terjadi ketika analisa ini saya buat di bulan Februari adalah kita belum melihat significant downturn di Deutsche Bank. Mercedes Benz Group (MBG) juga masih kuat (alasan mengapa saya membawa Volkswagen di analisa ini sebagai reality check). That has changed. Di hari Jumat kemarin (10 Maret 2023) kita telah melihat significant downturn di Deutshe Bank (DB). As expected, downturn di DB juga terjadi di seluruh sektor automotif German. So, what’s next? Kita kembali ke sekuens domino yang saya expect 7 bulan yang lalu: Kejatuhan global domino pertama dimulai di sektor property China (Hang Seng), kemudian menjalar ke Europe yang terlihat di German DAX Index, berikutnya S&P 500 dan diikuti dengan IHSG. Kita telah melihat historic high IHSG di tahun 2022 yang tidak akan kita sentuh lagi untuk waktu yang sangat lama, if ever.

Pada tanggal 10 Maret 2023, sebuah bank besar US bernama Silicon Valley Bank telah bangkrut setelah mengalami bank run dan tidak bisa mencari pendanaan baru. Sounds familiar with Credit Suisse?



Indonesia Debt Bubble


Saya memiliki keyakinan kalau Indonesia sudah berada dalam fase akhir market bubble. Secara historis, manusia cenderung membuat ‘accomplishment’ spektakuler di ujung fase market bubble yang menunjukan inflated ego mereka. Bentuk ‘accomplishment’ ini bisa berupa menara/gedung tertinggi dan bitcoin. Totally useful stuffs. Di Indonesia, peak dari ‘accomplishment’ ini adalah terbitnya IPO fintech terbesar di Indonesia, Gojek-Tokopedia (GOTO). Di awal IPO, market cap GOTO Rp 413 T setara dengan market peak the old king Unilever (UNVR) dan langsung berada di jajaran market cap terbesar di Indonesia setelah BBCA, BBRI, dan TLKM yang telah mengalami bull market selama 12 tahun lebih. Mania IPO GOTO didahului oleh perusahaan e-commerce BukaLapak (BUKA) yang saya jelaskan betapa non-sense harga IPOnya ketika itu. GOTO menggeser garis extreme tech bubble itu ke 4 kali lebih besar.


Fenomena fintech bubble di Indonesia yang mencapai puncaknya di IPO GOTO adalah bagian dari tema yang lebih besar: Debt bubble. Apa yang membuat fintech bubble ini adalah cheap money – zero interest rate debt – dari kebijakan central banks di major economies yang Anda lihat di chart awal. Zero interest debt ini sudah tidak memiliki zero rate lagi sekarang, dan ratenya akan terus naik. Fintech bubble is over.


Kebijakan cheap money central bank major economies ini juga diikuti oleh Bank Indonesia walaupun tidak mencapai zero. Monetary policy longgar ini mendorong debt bubble di masyarakat Indonesia yang bisa dilihat dari kenaikan harga rumah dan pembelian mobil & motor.


Harga rumah menuju all-time high thanks to BI yang semakin menekan borrowing rate ke all-time low. Sekarang BI telah me-reverse policy mereka dan mengikuti kebijakan The Fed. Tapi efek low rate selama 2 tahun terakhir masih terasa. Masyarakat masih tergiur menambah utang untuk membeli rumah dan mobil baru dengan asumsi ‘low rates forever’.


Tidak ada yang salah dengan membeli rumah dan mobil baru dengan kredit....selama kita bisa membayarnya. Pertanyaan besar saat ini adalah dimana limit atau breaking point ketika semakin banyak orang tidak mampu membayar tagihan kredit mereka. Saya pikir kita sudah mencapai limit itu, beserta dengan negara tetangga lainnya.


Chart di bawah ini adalah household debt/GDP: Porsi utang rumah tangga relatif terhadap pendapatan mereka. Saya bukan ekonom. Apa yang bisa saya lihat adalah terjadi debt explosion yang terjadi bersamaan di Indonesia, Thailand, dan Malaysia sejak tahun 2010 (tahun dimana The Fed melanjutkan QE, mempertahankan almost zero rate, dan BI secara tajam melanjutkan penurunan BI rate).


Chart dibawah menunjukan kalau selama pandemi, Indonesian household tidak menambah porsi utang mereka sebesar Thailand dan Malaysia. Mungkin karena pemerintah Indonesia lebih generous memberikan bantuan daripada 2 negara tetangga tersebut...yang mana tidak betul berdasarkan data dari Asian Development Bank (link). Survey yang dilakukan ADB dari Mei 2020 sampai Februari 2021 menunjukan kalau 68% rumah tangga di Malaysia mendapat bantuan financial dari pemerintah. 82,2% di Thailand. Bagaimana dengan Indonesia? 28,9%. Of course, kondisi finansial belum tentu keluar dari bahaya walaupun mendapat bantuan. Tapi setidaknya dari data ADB saya mempunyai dasar untuk percaya kalau kenaikan minim household debt/GDP relatif dengan negara tetangga selama pandemi bukan karena government aid. Saya pikir kenaikan kecil ini terjadi karena masyarakat Indonesia sudah mencapai limit untuk mengambil utang baru.

Dengan melihat chart comparison di atas, kita bisa melihat laju kenaikan household debt/GDP Indonesia jauh lebih tajam daripada Thailand dan Malaysia sepanjang 2010-2014. Periode ini disertai dengan kenaikan paling tajam di harga rumah dan penjualan mobil/motor baru. You see where this is going?


Seperti halnya berlari kencang menguras stamina lebih cepat, saya pikir hal yang sama juga berlaku untuk household debt Indonesia. Kita sudah mencapai debt limit ini di tahun 2014-2015. Satu-satunya faktor yang membuat permainan berbahaya roll-over credit ini bisa berlanjut adalah kebijakan BI yang terus-menerus menurunkan borrowing rate. Untuk sejenak, household debt/GDP naik tajam di tahun 2019. Level ini langsung pecah di tahun 2020. Household debt/GDP naik ke level yang sama lagi ketika BI memotong BI rate ke all-time low. Sekarang bubble household debt/GDP telah pecah di Indonesia bersama dengan Thailand dan Malaysia.


Ada interpretasi kalau utang household Indonesia masih sangat sehat. Interpretasi ini mengambil angka level household debt/GDP di atas secara literal tanpa mempedulikan trend. Thailand 89%, they are finished. Malaysia 69%, moderate. Indonesia household debt/GDP hanya 17%. Kita masih punya ruang besar untuk menambah utang! Saya percaya itu non-sense. Dugaan saya, household Indonesia sudah mencapai debt limit di tahun 2015. Alasan mengapa angka kita hanya 17% kemunginan besar karena data household debt Indonesia tidak mencakup pinjaman oleh sektor informal (di luar dari pengawasan OJK) dan tidak comparable dengan Thailand dan Malaysia.


Seandainya interpretasi saya betul: kalau banyak household Indonesia sudah mencapai limit utang mereka, maka kita bisa expect debt crisis akan membawa housing crisis (default wave di KPR) dan default wave di kredit auto. Jika Anda investor ASII (Astra), pay close attention dengan tanda-tanda default di auto. Baru-baru ini kita melihat kenaikan tajam harga saham AUTO, anak usaha Astra yang menjual spare-parts kendaraan. Kenaikan ini tidak terlepas dari sharp growth di pembelian mobil/motor baru sejak tahun 2020 yang didorong oleh kebijakan BI all-time low interest rate. Low rates forever, borrow more. This will not end well.

Mungkin kita sudah di tahap awal big debt burst. Tapi saya pikir keputusan strategis investasi bisa dibuat secara reasonable walaupun kita tidak bisa tahu secara pasti. Jika Anda berinvestasi di financial market, Anda perlu comfortable dengan membuat keputusan sebelum keadaan menjadi 100% jelas terlihat. Apa yang terpenting adalah kita mendapat gambaran seberapa vulnerable situasi debt bubble ini. Keep in mind kalau pembahasan kita sejauh ini di debt bubble hanya meliputi household. Debt bubble juga terjadi di segment perusahaan dan pemerintah.



Overview of Bank BCA (BBCA) - The Largest Bank in Indonesia


Sampai sejauh ini ada alasan yang bagus untuk percaya kalau real economic profit bank BCA terus meningkat. Dari sisi profitabilitas, BBCA dkk (Mandiri, BRI, BNI). mencapainya dengan memperkecil biaya operasional dan memperbesar interest spread.


Sebelum tahun 2020, harga saham BBCA telah mengalami kenaikan hyperbolic di periode 2015-2019. Kenaikan tajam ini terjadi setelah periode explosive credit growth di housing dan auto 2010-2015. Rasanya ganjil jika kita melihat periode kenaikan harga saham banking yang paling tajam terjadi di periode setelah periode kenaikan credit terbesar. Dari perspektif makro, apa yang terjadi? Central banks.


Setelah tahun 2015, Bank Indonesia (beserta central bank major economies lainnya) mendorong borrowing rate ke all-time low. Kebijakan ultra-low rates ini menopang debt bubble tidak pecah. Rumah tangga (dan perusahaan) yang terlilit banyak utang bisa memperpanjang utang mereka dengan mengambil utang baru yang memiliki interest rate yang semakin rendah. Dari pandangan saya, ultra-low rates ini menjadi bahan bakar yang membuat kenaikan hyperbolic di semua saham bernama besar. Runtuhnya saham UNVR adalah burung canary apa yang bisa terjadi di big banks Indonesia ketika kelangsungan economic growth tidak bisa dipertahankan. Investor yang saat ini sudah over-leveraged akan dengan cepat melepas kepemilikan mereka.


Chart di bawah ini adalah nilai kedit yang diberikan BCA ke kreditor yang diadjust dengan risikonya (risk weighted asset – RWA). Apabila bank invest lebih banyak di risk-free rate (seperti US bond, atau mungkin Indonesian government bond), maka RWA tidak mengalami perubahan karena additional risk yang diambil bank adalah zero. Tapi RWA bertambah besar apabila bank menaruh uang di tempat berisiko dan semakin besar risikonya, semakin besar kenaikan RWA. Unfortunately, RWA adalah angka krusial yang hanya bisa dikalkulasi dengan data internal bank. Investor tidak mempunyai pilihan selain percaya data RWA yang diberikan oleh bank terkait.


Taken as granted, kita bisa melihat kenaikan tajam RWA sepanjang 2016-2019 (2016 adalah data terawal BCA yang saya record. Saya expect kenaikan yang jauh lebih tajam terjadi di 2010-2015). Note kalau RWA saat ini berada di all-time high selepas dari tahun 2020.

Kenaikan RWA bisa menjadi hal yang baik atau buruk. Selama kenyataannya kreditor bisa membayar lunas utang mereka yang lebih mahal, maka kenaikan RWA ini adalah hal yang bagus untuk bank...sampai akhirnya gagal bayar terjadi. Selama semuanya lancar, RWA adalah aset yang diinginkan bank. More is good. Tapi ketika hal buruk terjadi, RWA berubah menjadi liability untuk bank (bukan dalam arti accounting).


Ketika akhirnya Indonesia berada di fase de-leveraging (yang mana kelihatannya baru mulai terjadi dari chart household debt/GDP di atas), harga saham bank dengan RWA besar seperti BCA tidak hanya akan kehilangan ‘growth premium’ seperti yang sedang terjadi di Unilever (UNVR), tapi juga valuation adjustment lebih lanjut ketika RWA akhirnya terbukti berubah menjadi beban.



BBCA Valuation: The Pinnacle of Indonesia Stock Market Bubble


Untuk mendapat sense seberapa extended BBCA saat ini (yang saya yakin juga berlaku untuk BBRI dan BMRI), pertimbangkan seberapa besar uang yang bisa dihasilkan bisnis BCA (diukur dengan economic profit) dengan seberapa besar market value BBCA saat ini. Estimasi Economic Profit yang saya lakukan untuk BCA di tahun 2021 sebesar Rp 20 Triliun. 2021 adalah tahun yang sangat bagus untuk BCA dan dunia masih berkomitmen mempertahankan ultra-low rates.


Di dunia ini, usaha gali lubang dan tutup lubang utang mungkin masih bisa dipertahankan. Bisnis BCA berjaya karena margin spreadnya semakin tinggi seiring dengan turunnya BI rates dan peminjam masih bisa mengapung. Present value economic profit (NPV) BCA di kondisi sempurna ini yang tidak berkesudahan adalah Rp 200 Triliun (Rp 20 T/10% cost of capital). BCA memiliki modal yang ditanam yang hampir seluruhnya berbentuk equity sekitar Rp 200 Triliun. Ini berarti total uang dalam present value yang bisa diklaim oleh equity investor BCA sepanjang operasi bisnisnya berkisar Rp 400 Triliun (NPV Rp 200 T ditambah book equity Rp 200 T) – di lingkungan yang sempurna. The largest business in Indonesia. Tapi nilai ini masih jauh dibawah dari stake yang sudah dipasang investor BBCA di pasar modal.


Di saat saya menulis analisa ini, lembar saham beredar BCA sebanyak 123.275 juta lembar saham. On a per share basis, klaim equity Rp 400 Triliun ini sekitar 3.200/share (Rp 400 T / 123.275 juta lembar saham). Harga BBCA saat ini di 8.400/share. Going forward, management BCA kemungkinan akan mengumumkan stock split. It does not matter. Pembaca tinggal perlu mengubah lembar saham yang beredar. Alternatively, pembaca bisa memberi tanda di chart masing-masing. 3.200/share adalah area dimana harga saham BBCA memulai gerakan explosivenya yang saya duga sudah mencapai all-time peaknya di November 2022.

Angka 3.200 adalah nilai lembar saham BCA setelah excess growth expectation dihilangkan. Di dunia yang sedang kita masuki sekarang, saya expect nilai BBCA akan mengalami downward revision lebih lanjut untuk mencerminkan damage substantial yang terjadi di real economy. Jika Anda percaya hal ini tidak bisa terjadi di big banks Indonesia, perhatikan apa yang terjadi dengan saham Unilever (UNVR). Bear market UNVR masih belum selesai.

 

Di bagian kedua dari analisa global ini yang akan terbit sebentar lagi, kita akan membahas komoditas setelah sebelumnya melakukan assessment kondisi perang di Ukraine. Spoiler, saya pikir komoditas sudah berada di turning point dan crude oil akan menyusul sebentar lagi. Kita akan mengalami banking/debt crises di tengah kenaikan komoditas & energy yang akan memecahkan record high FAO Food Index tahun lalu.

135 tampilan0 komentar

תגובות


bottom of page