top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

Global Market Perspective: Major Market Decline Ahead & The Era of Scarcity

Semenjak pandemi, ada red alert yang terus menerus selalu mendorong saya untuk memahami apa yang sedang terjadi dengan pandangan kalau semua hal saling terkait. Ketika default wave terjadi di China, motivasi untuk melakukan analisa ini semakin kuat. Thus, analisa yang Anda baca ini. Analisa ini adalah hasil dari upaya saya untuk mengerti kondisi global market saat ini. Pendekatan utama analisa saya sederhana: saya membiarkan market memberi tahu saya dimana posisi market saat ini, kemudian saya menggabungkannya dengan market lain yang relevan untuk mendapat gambaran holistik. Jadi kita akan melihat banyak chart disini. Pemahaman geopolitics memberikan konteks yang sangat berguna karena menjadi confirmation tools yang uncorrelated dengan chart techniques. Konsekuensi dari analisa ini besar. Tapi disaster bisa menjadi great opportunity di tangan lain. Analisa ini akan saya bagi menjadi 4 bagian: Global stock market, Banking Sector, Commodities, dan Currency.




 

Intro


Hang Seng membentuk secondary market top di 18 Februari 2021. Market top pertama German DAX terjadi di 16 November 2021. S&P 500 di 4 Januari 2022. Default wave di sektor properti pertama terjadi di China, kemudian sekarang mulai terjadi di US. Pemimpin negara mengharapkan commodity balik turun, tapi blokade gas dari Rusia menjamin German harus mengambil jatah gas dari negara lain. Bank besar Credit Suisse (CS) sekarang menjadi pusat perhatian untuk performanya yang sangat buruk walaupun ECB dan the Fed baru saja memberikan stimulus moneter terbesar dalam sejarah hanya dalam 2 tahun: 2020-2021. Tapi seperti yang nanti akan saya tunjukan, CS tidak sendirian. Kita sedang menyaksikan domino jatuh dalam skala global. It is likely to get worse. Much worse. Kita baru berada di tahap awal.



 

Global Stock Market


Dalam pandangan saya, chart Hang Seng (indeks China) memberikan gambaran besar trend globalisasi, dan apabila kita kita menambahkan satu atau dua simple trendline, kita bisa melihat kalau dunia sudah memasuki fase post-globalisasi. Memberikan emphasis globalisasi dengan indeks China adalah hal yang rasional karena China adalah satu negara besar yang mendapat benefit paling besar dalam era globalisasi.


Ada 3 observasi penting di chart Hang Seng di bawah ini.

Pertama, golden age globalisasi terjadi setelah Soviet Union pecah di awal 1990s. Golden age ini mencapai puncaknya di tahun 2008 ketika global financial crises terjadi. Puncak Hang Seng di tahun 2018 hanya sedikit melewati puncak 2008. Puncak 2018 terjadi di era financial abnormality, dimana interest rate berada di zero atau negatif. Semenjak GFC 2008-2009, jumlah utang skyrocket, saham skyrocket, harga property skyrocket, tapi begitu juga dengan kesenjangan sosial.


Observasi penting kedua hanya bisa dilihat dengan menarik trendline di swing chart (kagi chart, weekly, 3 bar reversals). Kita bisa melihatnya dengan bar chart, tapi swing chart lebih jelas. “Globalisasi” selalu disupport oleh satu garis tipis. Angle trenline ini di define di low point Asian crises 1998. Tapi kalau kita extent garis ini ke belakang, kita akan menemukan kalau point origin trendline ini berasal di pivot low tahun 1990. Not surprising. Tahun 1990 adalah tahun di antara runtuhnya Berlin wall dan pecahnya Soviet Union. Garis tipis ini mensupport Hang Seng di dot com bubble crash. Titik extreme dot com crash sempat melewati ‘thin line’ ini sebentar. Interestingly, new low ini kemudian menjadi titik support untuk GFC crash 2008-2009.


Point penting ketiga, posisi Hang Seng saat ini berada di ‘thin line’ ini yang terakhir menopang GFC 2008-2009. Seandainya Hang Seng tembus ke bawah, chart Hang Seng ini mengindikasikan kalau era globalisasi telah berakhir. Dunia akan berada di uncharted territory. Dua hal yang saya expect terjadi di era baru ini adalah major decline di global stock market dan kelangkaan komoditas. Keduanya menjadi fokus di analisa intermarket ini.


Hang Seng Index “Globalization”: Supported by a Thin Line



Salah satu domino effect ini, jika kita bicara stock spesifik, akan dialami oleh saham UNVR, produsen consumer goods terbesar di Indonesia. Jika Anda berpikir tidak ada hubungan antara Hang Seng dengan Unilever Indonesia, you may want to reconsider. Market top UNVR di awal 2018 = market top Hang Seng. Satu aspek penting hubungan saham UNVR dengan real economy ada di hubungan hampir linear antara jumlah employee Unilever Indonesia dengan harga saham UNVR. UNVR secara signifikan dan persistent telah mengurangi jumlah employee dari tahun 2018. This downward trend is likely to continue.



Market Top: Hang Seng & UNVR

Default wave sedang berlangsung di sektor property China tidak lama setelah bank sentral China (PBoC) menerapkan ‘three red lines policy’ untuk menekan ekspansi utang di sektor property China. CHIR adalah indeks gabungan saham developer property China. Chart dibawah ini menunjukan dengan jelas betapa closely correlated CHIR dengan Hang Seng Index. Saat ini, CHIR jauh lebih lemah secara teknikal*. Kita perlu melihat lebih detail CHIR.


Hang Seng and CHIR Index

Chart di bawah ini adalah chart daily CHIR. Technically speaking, it is very bearish. Bar 1 menembus critical support Maret 2022 di 7,58 dengan volume sangat besar dan dengan gap yang sampai saat ini belum ditutup. Bar 1 close di middle, jadi ada support disana. Bar 2 close di middle dengan volume meningkat. Ini menunjukan supply. Sejauh ini CHIR masih belum bisa balik di atas area 7,58. Market yang gagal ketika re-test di area breakdown adalah market yang lemah. Saya sangat menyarankan pembaca untuk memonitor perkembangan CHIR (Seperti yang bisa dilihat di tanggal chart-chart disini, kembanyakan analisa ini saya buat di 17 Agustus kemarin. Ketika tulisan ini dipublish, CHIR masih bertengger di area 7,58). Breakdown di CHIR kemungkinan akan mendahului breakdown di Hang Seng. Pelemahan lebih lanjut di Hang Seng akan menembus long term trendline dan memperkuat skenario major global market decline yang selanjutnya akan dibahas.


CHIR Index: Price & Volume Analysis

Sekarang kita beralih ke German DAX. Major market decline tidak terjadi secara vacuum. Kita perlu melihat indikasi di global market lainnya. Fokus saya sebenarnya di S&P 500. Tapi German DAX cenderung bergerak duluan sebelum S&P 500.


S&P 500 and German DAX

German Dax baru saja turun kuat setelah menyentuh fibonacci confluence zone di 13.900. Indikator Composite Index menunjukan bearish divergence yang tidak ditangkap oleh RSI.


German Dax Confluence Zones

Selagi kedua indikasi technical di atas menunjukan weakness, tapi kita tidak bisa tahu seberapa vulnerable German DAX mengalami major decline. Untuk mendapat gambaran kemungkinan pergerakan lebih besar ini, saya melihat satu major component DAX yang jelas krusial di perekonomian German: Mercedes Benz (MBG).


Ada tiga observasi penting di chart overlay DAX dan MBG di bawah ini. Pertama, semenjak market top di awal tahun 2015, MBG underperform DAX. Sesuatu yang besar terjadi di tahun 2015 dan menyebabkan tulang punggung ekonomi German ini sangat lemah. Mungkin karena terjadi perubahan besar di supply chain dalam antisipasi Brexit sehingga raw materials lebih mahal, mungkin juga karena efek European debt crises semakin menjalar. Mungkin keduanya.


Observasi penting kedua adalah walaupun MBG selalu underperform DAX, tapi general trend mereka masih sama: Higher-high German Dax membutuhkan MBG setidaknya mengalami market rebound. Point ini penting diingat terutama karena posisi MBG saat ini yang sudah melakukan market rebound substantial.


Ketiga, note kalau historical peak awal tahun 2022 DAX tidak diikuti dengan higher-high di MBG. MBG justru membuat lower high. Divergence ini sudah berlangsung sejak market rally 2016-2017. Penganut Dow Theory akan menyadari kalau ada sesuatu yang sangat salah disini.



German DAX & MBG

Setelah jatuh dari market peak 2022, seperti halnya dengan German DAX (dan S&P 500), MBG baru saja membuat rebound kuat ke 60. Tapi kita perlu melihat market rebound ini ke historical context MBG. Chart dibawah ini memberikan fokus MBG ke dalam konteks channel line. Channel line ini membuat jelas kalau MBG saat ini berada di upper range.


Apa yang kita pertimbangkan disini? Pertimbangan saya adalah apa yang dibutuhkan agar DAX membuat another higher high untuk menentang asumsi kalau major market decline sudah dimulai. Ingat kita masih berbicara potensi domino effect berupa global market major decline yang terjadi setelah Hang Seng. Dengan posisi MBG dan DAX saat ini, saya rasa cukup reasonable untuk expect kalau MBG setidaknya perlu membuat double top agar DAX bisa mencetak higher high. Optimists mungkin akan merasa ini highly achievable karena perkembangan EV (electric vehicle). Tapi perang Ukraine-Russia membuat progress EV seperti doomed project karena bahan baku baterai EV seperti nickel sudah menjadi langka. Rusia adalah produsen ketiga terbesar nickel dan yang paling dekat dengan German. Salah satu perusahaan besar nickel Rusia adalah Norilsk (NILSY) yang sahamnya diperdagangkan di US market. Chart berikutnya menunjukan apa yang terjadi dengan saham NILSY ketika invasi Ukraine terjadi. Dunia sudah kehilangan akses nickel dari Rusia. Nickel sudah menjadi komoditas langka sekarang (di bagian akhir kita kembali lagi ke komoditas).


Mercedes Benz (MBG) Important Channel Lines


Russian nickel...out!



S&P 500


Seperti halnya dengan German DAX, daily chart S&P 500 juga menunjukan bearish divergence di indikator saat ini (17 Aug 2022). Setidaknya kita bisa expect koreksi. Analisa German DAX dengan MBG membuat saya menilai kalau S&P 500 sudah tidak bisa membuat higher high. Kita mungkin sudah melihat market peak S&P 500 di awal Januari 2022.

Ada possible wave count berbahaya yang saya lihat di S&P 500. Di pandangan ini, market crash ketika pandemi dimulai di awal tahun 2020 adalah akhir dari pattern expanding triangle. Triangle hanya terjadi di wave 4 (atau wave B dalam pattern koreksi zig-zag). Ini berarti upswing berikutnya akan menyelesaikan satu struktur impulsive dan kemudian akan diikuti dengan koreksi besar. Seberapa besar? Tergantung dari seberapa besar struktur impulsive yang diselesaikan.


Di chart bawah ini, wave count saya dimulai dari low 2009. Struktur impulsive (5 wave) dari 2009 telah selesai di Januari 2022. Expect kontraksi S&P 500 untuk setidaknya membawa market ke low point 2020 kemarin. Tapi saya menduga kontraksi market kali ini akan jauh lebih besar karena sepertinya 5-wave yang dimulai dari low 2009 ini adalah akhir dari 5th wave dari larger degree. Kalau 5th wave kali ini adalah akhir dari degree yang jauh lebih besar dari 2009, maka S&P 500 akan mengalami kontraksi yang luar biasa besar yang belum pernah terjadi lagi sejak tahun 1929. Di skenario pertama (larger degree hanya sebatas upswing dari 2009 low), kita melihat market turun 54% dari top Januari 2022. Di skenario kedua, minus 86%.


Kedua skenario ini jelas perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut. Tapi di point ini saya harap pembaca menyadari kalau tidak mungkin IHSG akan baik-baik saja di kedua skenario S&P 500 ini.


 

Global Banking


Tahun 2008 memberikan pelajaran krusial untuk selalu peka terhadap sektor banking. Bank akan memberikan signal terlebih dahulu sebelum major market decline. Kali ini tidak akan berbeda.


Saya membagi bank besar ke dalam 2 kategori: bank kuat dan bank lemah. Bank lemah adalah bank yang harga sahamnya jauh lebih lemah relatif dari bank kuat sejak krisis 2008. Unsurpsingly, kita bisa memasukan bank-bank besar di EU ke dalam kategori ini, tapi kategori ini ternyata juga termasuk bank Jepang dan Korea Selatan. Bank besar di Indonesia termasuk ke dalam kategori bank kuat karena tidak terkena exposure di housing bubble dunia barat di 2000s. Tapi jangan berpikir kalau mereka tidak terkait satu sama lain.


Semua orang yang saya tunjukan chart di bawah ini terkejut ketika melihat korelasi bank BCA dengan Bank of America. Kita bisa memasukan JP Morgan (and yes, Mandiri dan BRI) ke sini untuk gambaran yang sama. 4 hari kemudian semenjak chart ini diambil, Bank of Canada dan Bank of America (dan JP Morgan) sudah mulai jatuh. BBCA belum. Kata kuncinya disini ‘belum’. Dugaan saya, bank besar di Indonesia masih belum jatuh karena ada support di bisnis batu-bara. Tapi profitable lending di sektor batu-bara saja saya yakin tidak akan cukup untuk mencegah dominant force dari hubungan intermarket (semua bank besar memiliki exposure di sektor property). 4 kata paling mahal untuk investor adalah ‘this time is different’.


Strong Banks

Sekarang kita lihat ke kumpulan bank lemah. Termasuk ke dalamnya adalah bank raksasa Jepang Sumitomo, bank Korea Selatan KB Financial, Deutche Bank, dan Swiss Credit Suisse. Credit Suisse saat ini menjadi sorotan di Bloomberg News karena pergantian management. Of course, saya tidak perlu tahu detailnya. Tapi saya tahu kalau problem Credit Suisse adalah problem sistemik dengan hanya melihat chart di bawah ini saja. Bank Korea Selatan relatif lebih kuat dari yang lain. Tapi concern kita seharusnya fokus di arah trend mereka. Semuanya sangat lemah. Harga saham Credit Suisse dan Deutche Bank saat ini sudah lebih rendah dari saat krisis 2008-2009. Hal ini terjadi di era zero interest rate dan massive QE 2020-2021. Saya tidak perlu tahu lebih detail untuk mendapat kesimpulan kalau something is really wrong here!


Weak Banks

Hubungan intermarket di kategori bank lemah ini sangat reliable. Sayang sekali analyst S&P tidak mempunyai luxury memakai analisa technical untuk melihat hal krusial: Credit Suisse (bar chart) adalah leading market untuk Societte Generale (kuning). Saat ini assessment S&P untuk Societte Generale lebih positif dari Credit Suisse berdasarkan performa terakhir. Downward revision untuk Societte Generale akan terjadi. Sesuatu yang buruk sudah menyebar.

Tadi kita sudah melihat interkoneksi bank-bank besar yang terlihat jelas ketika dikelompokan ke dalam bank kuat dan bank lemah. Sekarang, kalau Anda pikir kelompok bank kuat terisolasi dari apa yang terjadi di bank lemah, saya pikir Anda keliru. Chart di bawah ini membandingkan yang terlemah di kedua kelompok: JP Morgan (bar chart) untuk bank kuat (JP Morgan hampir sama dengan Bank of America) dan Credit Suisse (kuning) untuk bank lemah. Apa yang terjadi dengan Credit Suisse tidak tinggal di Credit Suisse saja.

Sekarang saya akan membawa Hang Seng (biru) ke dalam gambar ini. Bukan kebetulan kalau pivot-high bank kategori lemah terjadi bersamaan dengan pivot-high Hang Seng.

IMF memberi emphasis kalau global debt berada di unprecedented high dan unsustainable. IMF membuat dengan jelas kalau global debt di semua kategori negara (LIC, emerging, developed, dan China) bertambah signifikan sejak financial crises 2008. Data IMF dibawah ini hanya berhenti di tahun 2020. Global debt masih lanjut naik di tahun 2021.

...dan siapa yang memegang increasing debt ini? Big banks seperti Credit Suisse dan JP Morgan, dan IMF. Bahkan IMF sendiri berkali-kali menyerukan kalau debt relief sangat dibutuhkan dalam skala terbesar dalam sejarah manusia (sayangnya, bahkan IMF sendiri tidak mempraktekan apa yang mereka serukan). Kita telah melihat harga saham bank-bank super besar seperti Deutche Bank dan Credit Suisse.... not in the mood for debt forgiveness.


Sejauh ini kita telah melihat weak link di global intermarket sudah collapse dimulai dari sektor properti China. Ini tidak akan berhenti di China. Stimulus moneter sepanjang pandemi telah menemukan jalannya di US housing market. Seperti yang pernah saya bahas di analisa EVA Integra Indocabinet (WOOD) – produsen berbagai macam produk kayu yang mendapat big boost dari perkembangan US housing market selama pandemi - stimulus selama pandemi telah mendongkrak harga rumah di US dengan sangat cepat hanya dalam 2 tahun.

US housing market sedang dalam tahap awal collapse saat ini. Begitu juga dengan Australia. Apalagi Europe. Di Indonesia, kebanyakan orang masih percaya kalau harga rumah tidak mungkin turun. Begitu juga dengan orang US, Australia, dan terutama China yang baru kali ini mengalami penurunan harga rumah.


Debt implosion sedang terjadi tidak hanya di negara low income, tapi juga di housing market advanced economy, termasuk China. Collapse di housing market membuat bank lemah terkena impactnya duluan, dan sekarang sudah menjalar di bank kuat. Kecuali bank di Indonesia. So far. We will see. It will not be different this time. Pemilik kredit rumah yang memakai floating rate tahu kalau tagihan mereka sudah naik banyak sebelum BI rate naik kemarin. Indeks saham sangat dipengaruhi oleh saham banking karena bobot mereka besar. Tapi ketika menjadi sistemik, sektor bank yang lemah berarti pendanaan yang lemah. Di sistem kapitalisme, pendanaan yang lemah berarti berujung ke produksi yang lemah karena kredit datang duluan sebelum produksi.


Untuk banyak orang, kita bisa mengatakan kalau major market decline adalah masalah orang kaya. Itu tidak sepenuhnya benar karena ada hubungan linear antara jumlah pegawai dan harga saham UNVR (Unilever Indonesia) dan masalah sistemik di banking akan membuat kondisi jauh lebih sulit bagi perusahaan yang membutuhkan pendanaan. Tapi ada satu perkembangan lagi yang tidak bisa dibantah. Harga komoditas.


 

Commodity


Serupa dengan sebelum market crash 2008-2009, komoditas berada di level jauh di atas rata-rata tahun-tahun sebelumnya. Kali ini kenaikan harga lebih parah. Harga makanan berada di record high semenjak WW2 dengan konsekuensi record famine di tahun ini (FAO food index).


Tapi berbeda dengan tahun 2008, dunia belum menghadapi kelangkaan komoditas saat itu. We are now. And it will be getting worse.


Pertama-tama, kita perlu menyadari kalau harga makanan saat ini sudah pecah rekor sejak WW2 ketika ledakan harga makanan terakhir terjadi di tahun 1974-1975. Kenaikan harga 1970s ditrigger ketika US meninggalkan Bretton Woods agreement. Gold rush terjadi. Negara Arab memutuskan untuk melakukan embargo minyak ketika tahu kalau US tidak memiliki cukup banyak gold untuk ditukar sesuai perjanjian Bretton Woods. Walaupun produksi makanan masih melimpah dengan increasing yield, tapi kenaikan minyak yang tajam membuat semua harga komoditas lainnya ikut naik tajam juga. Setelah tahun 1975, dunia memasuki fase low price untuk makanan dan energy. The Fed mengklaim kalau periode harga murah ini semuanya karena kebijakan Paul Volcker yang membuat Fed rate mencapai 20%. Tapi orang berpikiran jernih tidak mungkin menghiraukan peran militer US yang menjadi sangat terlibat di Middle East sejak embargo terjadi.



Kita bisa mengambil kejadian 1974-1975 sebagai referensi disini. Apa yang kita tidak punya saat ini adalah resolusi konflik di Ukraina. Berbeda dengan Middle East, direct millitary intervention dari US (atau NATO) memiliki konsekuensi retaliasi yang sangat fatal. Proposal jalan damai sejauh ini menemukan jalan buntu di Washington. Bahkan Henry Kissinger langsung mendapat kritik di Davos ketika mengutarakan solusi berupa independent Ukraine. Harga energy akan menemukan jalannya untuk menjalar ke komoditas lainnnya. Harga gas saat ini sudah melewati peak May 2022. Heating oil saat ini sudah all-time high.

Sekarang saatnya mundur sebentar untuk membawa teknik analisa lain. Di bawah ini adalah chart Invesco DB Commodities Index (DBC). Index ini tersusun dari 60% energy, 30% agrikultur, dan 10% precious metals. Outlook signifikan di index ini most likely juga berlaku untuk energy dan agrikultur, tapi tidak terlalu untuk metals.


Chart DBC membentuk dua pattern triangle penting yang saya mark di chart. Dari triangle, interpretasi Elliott Wave pattern yang saya punya saat ini adalah DBC index masih baru dalam fase awal wave (3) besar. Apa yang di-imply dari wave count ini adalah kita akan segera memasuki fase kenaikan harga komoditas yang paling kuat dan hal ini akan membuat record high FAO food index di atas terlihat kerdil ketika wave (3) selesai (**lihat juga alternative wave count di bagian akhir).


Commodities: Much Higher Prices to Come

Kita sudah melihat gas price sudah jalan duluan. Skenario berikutnya yang bisa terjadi adalah hilangnya gas source dari Rusia akan membuat Europe semakin banyak mengambil sumber energy lain (sedang terjadi). Hal ini akan menguras supply energy untuk negara lain dan membuat negara lain mencari cara untuk hoarding energy. Supply energy akan semakin tipis. All kinds of energy. Renewable energy mungkin bisa meringankan situasi, tapi raw materials yang dibutuhkan seperti nickel juga tertahan di Rusia. Apa yang jelas adalah renewable energy, dengan teknologi saat ini, jauh dari cukup untuk mensupport kota besar dengan lifestylenya. Satu hal penting lainnya tentang keunikan gas dari Rusia yang sepertinya jarang mendapat mention di media: 2/3 area di Rusia adalah permafrost. Kalau seandainya Rusia menutup aliran rude/gas pipeline di area permafrost, maka ada kemungkinan besar pipeline itu rusak permanent.


Ekspor wheat dari Ukraine saat ini hanya 50% dari sebelum invasi terjadi. Kuantitas wheat dari Ukraine ini akan lebih buruk ke depan karena Rusia sudah merusak beberapa infrastruktur agrikultur di Ukraine (termasuk traktor). Very likely, petani di Ukraine juga sudah kehilangan banyak akses untuk energy dan ini berarti kemampuan produksi mereka sudah jauh berkurang. Tambahkan kelangkaan fertilizer ke dalam mix dan dunia mempunyai masalah jangka panjang dalam mempertahankan yield dari existing crops. Produsen soybean terbesar saat ini adalah Brazil, dan tanah Brazil memerlukan banyak fertilizer. Kelangkaan soybean akan dengan cepat menjalar ke CPO (price chart mereka sangat terkorelasi). Kelangkaan fertilizer tidak hanya terjadi karena energy cost naik, tapi juga karena dua sumber utamanya bermasalah: China dan Rusia. Kemarau jangka panjang yang dialami China saat ini hanya menambah insentif China untuk menahan fertilizer.


Tapi Anda salah kalau mengira harga wheat akan menjadi signal duluan sebelum kenaikan agrikultur lainnya (see: wheat technical chart: higher prices to come). Posisi leading market itu jatuh di corn.

Untuk mencoba melihat what is ahead untuk corn price, saya memonitor perusahaan oilseeds raksasa di United States bernama Bunge Limited (BG). Korelasi BG price dengan corn price sangat kuat.


BG baru saja rebound dari angle line signifikan. Di daily chart, RSI bounce di upper range bull market dengan posisi testing moving average. Indikator Composite Index membentuk signal bullish reversal. Di weekly chart, RSI menemukan support di level 40. Indikator Composite dan Detrended oscillator berada titik ekstreme. Semuanya mengindikasikan probability lebih besar untuk kelanjutan upswing, dan ini berarti kita bisa expect kenaikan corn price lebih lanjut.


BG Daily Chart


BG Weekly Chart

Data selanjutnya berhubungan dengan CPO (palm oil). Chart berikutnya adalah stock CPO di Malaysia, produsen CPO terbesar kedua dunia. Produsen terbesar yang pertama adalah Indonesia, tapi kita tidak memiliki data stock yang reliable untuk bisa diquote di Wall Street Journal.


Data ini pernah saya share sebelumnya di analisa untuk saham produsen CPO (The Big Pictures: AALI & BWPT). Disini saya akan memberikan interpretasi penting yang bisa ditarik dari chart ini: global CPO shortage.


Durasi produksi dan konsumsi CPO membentuk sebuah siklus berulang naik-turun untuk ending stock CPO. Ini karena di tahap awal hasil panen membuat ending stock naik, kemudian hasil panen didisribusikan ke konsumen yang menyebabkan ending stock turun. Jadi kita melihat pattern bukit dan lembah di ending stock.


Sebelum tahun 2020, dunia tidak perlu khawatir dengan ketersediaan CPO. Posisi ini kemudian berubah drastis. Sebelum tahun 2020, ending stock mencapai peaknya dalam sekitar 3 tahun (1.000 – 1.100 hari). Kondisi oversupply diindikasikan dengan higher peak ending stock di siklus berikutnya. Stock CPO mencapai puncaknya di akhir tahun 2018. Untuk investor perusahaan CPO, hal ini tidak mengejutkan. Kita sudah tahu kalau pada ujungnya demand CPO akan melebihi supply karena ekspansi lahan untuk CPO secara efektif sudah berhenti sejak commodity crash di tahun 2014-2015.

Apa yang membuat saya terkejut, dan mungkin investor CPO lainnya adalah seberapa cepat stock ini terkuras sejak tahun 2019.


Data terakhir stock CPO di atas adalah Juli 2022. Kita sudah melewati durasi siklus peak sebelumnya (1.308 hari dan masih berjalan), dan stock CPO masih berada di range low-end siklus sebelumnya! Obviousy, kebijakan hoarding CPO di Indonesia berkontribusi dalam menguras stock CPO Malaysia. Apa yang jelas adalah keadaan saat ini sudah jauh berbeda dari sebelum tahun 2020 dimana dunia tidak perlu khawatir mencari CPO di market. Saya tidak bisa melihat bagaimana harga komoditas agrikultur bisa balik ke range rendah yang berakhir di tahun 2020.


 

Currency


Maret 2020 adalah repetisi dari apa yang terjadi ketika krisis 2008-2009 terjadi. Long term yield Indonesia naik tajam selagi 10-year US bond yield turun tajam. Hasilnya? Massive capital outflows sehingga USD naik tajam relatif terhadap rupiah. Jadi di masa sulit, Indonesia menghadapi weak currency dan high long-term borrowing cost.


Historically, 10-year US bond turun tajam ketika S&P 500 berada di fase meltdown. Saat ini S&P 500 belum di fase meltdown, tapi intermarket analysis di sektor bank dan German DAX mengindikasikan bear market. Kalau analisa intermarket ini betul, kita hanya menunggu waktu sebelum ada kenaikan signifikan lagi di USD/IDR. Tambahkan dengan high energy prices, situasi tidak mungkin baik untuk Indonesia. Pemerintah sudah menghadapi kesulitan untuk mempertahankan subsidi BBM. Sebagai notes tambahan, saya pikir fokus dengan Fed rate adalah tindakan yang sub-optimal. Historically, Fed rate bergerak belakangan setelah 10-year yield.



 

So,to conclude....


Global debt berada di historic high dalam sejarah tercatat manusia. Saham big banks sudah mulai collapse untuk strong banks, dan sudah menjadi lebih buruk dari krisis tahun 2009 untuk weak banks semenjak Hang Seng mulai collapse yang mendahului default wave developer properti China. Kalau harga saham bank menjadi indikasi, mood big banks sudah sangat buruk untuk bernegosiasi, terutama untuk weak banks.


Dunia sudah kehilangan wheat dari Ukraine dan gas dari Rusia, termasuk fertilizer. Indeks komoditas (DBC) tampaknya berada di awal fase wave 3 besar. Harga saham produsen corn besar di US menunjukan signal bullish.


Kenaikan tajam di komoditas dan penurunan tajam di saham bank kemungkinan akan mendahului meltdown di S&P 500. Tapi gas price sudah naik tajam, jadi...Saham JP Morgan sudah turun 38% dari market peak. Peluangnya besar, dalam pandangan saya, kalau S&P 500 sudah mencetak market top di Januari 2022. Bear market S&P 500 kali ini akan sangat besar dan akan memiliki fase meltdown dimana market turun secara cepat. Di fase meltdown itu, long-term yield US bond cenderung turun kuat. Ketika itu terjadi, long-term yield Indonesian bond akan naik tajam juga, tapi massive capital outflows tetap akan terjadi sehingga USD/IDR menguat signifikan.


Di analisa currency sebelumnya, saya memutuskan untuk membeli Japanese Yen untuk mendapat profit ketika USD akhirnya menguat signifikan lagi terhadap rupiah. Tapi energy outlook di assessment kali ini jelas menentang pandangan bullish terhadap USD/Yen. Tapi berhubung Yen/IDR adalah cross-pair, jadi tetap ada kemungkinan lain. Tapi saya menjadi lebih pesimistis terhadap Yen/IDR. Historically, trend divergence signifikan Yen/IDR dengan USD/IDR pada akhirnya akan ditutup.


 

*Important Latest Data Update

Beberapa analisa di atas menggunakan market data sekitar 2 minggu yang lalu ketika analisa ini baru dimulai. Di bawah ini adalah perkembangan penting yang berpotensi mengubah pandangan besar di analisa ini.


CHIR

Bar tanggal 26 Agustus 2022 kemarin sepintas terlihat bullish. Big hammer. Tapi range bar terlalu besar dengan volume tipis. Kemungkinan bar ini terjadi karena banyak posisi short yang dilikuidasi, tapi tidak ada demand asli.



** Commodity Index Alternative Wave Count

Dalam interpretasi wave count yang juga valid di bawah ini, commodity index masih belum selesai melakukan koreksi. Market peak Juni 2022 menyelesaikan wave 1 besar atau wave A dalam zig-zag besar. Untuk mengulang, interpretasi wave count awal mengimply kalau commodity index akan segera naik tajam. Tapi pada ujungnya, kedua interpretasi wave count ini tetap mengimply kalau long term trend commodity index adalah bull market. Market high Juni 2022 akan dilewati secara signifikan.


Pandangan wave count alternative yang mengimply satu downwave signifikan lagi ini mendapat konflik dengan trend natural gas dan Bunge stock price yang sangat bullish sekarang.


End.


217 tampilan0 komentar

Comentários


bottom of page