top of page
Cari

Finding Great Opportunities in Poor Performers (Case Study: PTRO)

Gambar penulis: Rio AdrianusRio Adrianus

Diperbarui: 27 Des 2021

Tulisan kali ini termotivasi dari banyaknya asumsi kalau analisa fundamental berujung ke nasib seperti HMSP, dan apa yang berhasil adalah apa yang booming seperti bank digital. Kalau kita melihat market di US, kita melihat persepsi yang mirip. Value investor akan selalu terlihat ketinggalan zaman di periode market bubble. Semuanya terlihat mudah in hindsight. Siapa yang tahu apa yang akan booming? By definition, market yang booming adalah saham yang harganya naik besar. Dalam pandangan praktis saya kepada mereka yang melihat market booming sebagai hal yang obvious, mereka perlu menjelaskan mengapa BukaLapak (BUKA) tidak booming. At any rate, tulisan kali ini memiliki motivasi untuk membawa kembali relevansi value investing, dan equally important, menunjukan kalau value investing tidak sama dengan memilih high performance company.


Subjek kali ini adalah Petrosea (PTRO). Perusahaan ini memberikan jasa drilling dan konsultasi yang dibutuhkan untuk membuka mining site. PTRO historically secara konsisten mencetak EVA negatif. Perusahaan ini tidak mampu mengcover cost of capitalnya yang saya asumsikan 12%. ROIC PTRO tidak mencapai 1%. Dilihat dari trend EVA yang stabil di area negatif ini, tidak ada alasan bagi saya untuk expect perubahan substantial.


In response, Mr. Market tidak menempatkan value PTRO di atas 1x EV/Capital untuk waktu yang lama. Di tahun 2017, Mr. Market terlalu optimistis dan segera menyesalinya. Note kalau di recent high tahun ini, PTRO sempat mencapai 2.900/share. Pada point itu, EV/Capital sempat mencapai 0,85.

Dengan informasi sejauh ini, saya memiliki reasonable basis untuk tidak berinvest di PTRO. Peluangnya rendah ada perubahan EVA substantial, dan unlikely PTRO bisa mencetak EVA positif. Seperti yang saya point out, Mr. Market enggan untuk menilai PTRO dengan value EV/Capital di atas 1, dan tidak ada alasan bagus mengapa bisa di atas itu. In short, PTRO tidak menawarkan margin of safety...di harga saat ini.


Jadi tadi kita bicara untuk sekarang. Tapi PTRO sempat menawarkan margin of safety (MoS) yang reasonably good di Maret 2020. Tapi untuk melihat MoS tersebut, kita perlu melihat hal lain.


Estimasi EVA PTRO di tahun 2019 sebesar minus Rp 587 Miliar. Apabila PTRO tidak berubah, NPV PTRO akan sebesar minus Rp 4,9 T (-587 M/12%). Nilai invested capital PTRO, jumlah modal yang ditanam investor di tahun 2019 sebesar Rp 5,3 T; Rp 0,7 T di Working Capital dan Rp 4,6 T di Fixed Asset. Kita bisa mengartikan NPV sebagai uang masuk dan invested capital sebagai uang keluar. Berhubung NPV PTRO negatif, ini adalah loss. Investor memberi Rp 5,3 T dan management PTRO menghasilkan loss Rp 4,9 T. Sisanya adalah freescashflow yang jumlahnya tidak cukup untuk mengcover klaim debtholders. Itu adalah situasi PTRO di tahun 2019 jika tidak ada perubahan, dan hingga saat ini tidak banyak perubahan.


Kondisi perusahaan seperti PTRO yang tidak cukup untuk mengcover klaim debtholders karena NPVnya negatif terlalu besar ini adalah kondisi yang saya katakan extreme. Di kondisi extreme ini, valuasi rasional akan memberikan angka yang tidak praktikal (perusahaan bahkan tidak memiliki uang untuk mengcover klaim debtholders). Langkah pertama yang perlu dilakukan investor yang tertarik dengan perusahaan seperti PTRO adalah melakukan analisa mengapa PTRO tidak bangkrut dalam waktu dekat. Sayangnya, saya tidak tahu metode reliable yang bisa dilakukan pihak eksternal untuk tujuan ini. Melakukan checklist kepatuhan perusahaan terhadap covenant kreditur adalah pendekatan yang terlalu restriktif. Kenyataannya, perusahaan melanggar covenant bank all the time. Untuk PTRO, mungkin hal terbaik yang bisa dilakukan investor dengan akses data eksternal adalah mempertimbangkan kalau oil, gas, and coal industry masih akan berjalan business as usual. Pandangan ini makes sense apabila investor memiliki alasan bagus mengapa COP 26 tidak akan menghasilkan keputusan yang berpengaruh (yang mana yang terjadi) - (lihat analisa PTBA).


Setelah melakukan assessment kalau PTRO tidak akan bangkrut dalam waktu dekat, langkah krusial berikutnya adalah mencari harga yang memiliki margin of safety. Preferably, di point ini investor juga memiliki reasonable basis untuk cukup yakin kalau tidak ada kontraksi EVA secara signifikan dalam waktu dekat. Untuk perusahaan dengan kondisi ekstreme yang saya jelaskan di atas, saya telah mengatakan kalau valuasi rasional tidak bisa dilakukan (karena klaim debtholders akan lebih besar dari apa yang tersedia bila tidak ada perubahan kondisi bisnis). Sejauh ini saya menemukan kalau rule of thumb berguna disini. Untuk perusahaan extreme seperti PTRO, kita bisa menerapkan rule of thumb kalau margin of safety bisa ditemukan apabila harga sahamnya sekitar 30-35% dari net capital invested. Net capital invested adalah invested capital setelah dikurangi dengan klaim debtholders (termasuk employee benefits) dan minority interest, plus cash. Apabila tidak ada accounting distortion signifikan yang biasanya terjadi karena impairment/reversal, disposal, dan revaluation, maka nilai net capital invested akan mendekati nilai Book Equity.


To put this in practice, 30% dari net invested capital, on a per share basis sebesar 1.032/share. Untuk PTRO, saya tidak menemukan accounting distortion yang signifikan jadi kita akan menemukan angka yang mirip dengan sekedar menggunakan Book Equity (sekitar 900/share). Value investor yang sabar dan memiliki keyakinan akhirnya mendapatkan kesempatan bagus ini ketika PTRO jatuh dan akhirnya menemukan bottom di 840/share Maret 2020. Investor tersebut memiliki peluang yang sangat bagus untuk mendouble his/her money di perusahaan dengan performance buruk seperti PTRO. Di saat ini, harga saham PTRO di 2.200/share. Sempat mencapai 2.800/share belum lama ini. PTRO memberikan kasus nyata kalau perusahaan buruk, at the right price, is a good investment.


Sebagai kalimat penutup, pembaca perlu memahami proses dimana saya mengapply rule of thumb 30-35% net capital. Rule ini berlaku untuk perusahaan ekstrem yang bisa dijelaskan dengan EVA (dan mungkin hanya EVA) tapi for one thing or the other, saya memiliki keyakinan kalau perusahaan tersebut tidak akan bangkrut dalam waktu dekat. Economically speaking, perusahaan yang tidak bisa menghasilkan EVA positif (negative NPV) akan keluar in the long run. Tapi realita seperti PTRO (dan banyak yang lainnya) memperlihatkan kalau ‘in the long run’ sepertinya lebih lama daripada apa yang bisa dibanyangkan orang.


Apa yang saya tulis disini memberikan insight valuable terutama on men-spot perusahaan-perusahaan buruk yang harga sahamnya masih melambung. Sebagai contoh real saat ini, saya kepikiran MMLP. Economic loss MMLP sangat besar sehingga apabila kondisinya tidak berubah signifikan maka modal investor bisa tenggelam dalam loss (dengan mempertimbangkan required return shareholders. Dengan kata lain, modal shareholders tidak gratis). Range 30-35% net invested capital MMLP memberikan estimate harga 145-170/share. Praktisi teknikal analisis akan segera tahu mengapa range tersebut menarik, tapi moto TA pada umumnya adalah ‘anything can happen’. Saya memilih pandangan rasional yang bisa membatasi opsi.


Di sisi yang sama, rule of thumb sederhana memilih saham dengan PBV dibawah 0,35 adalah strategi yang terkenal memberikan return superior dari market indeks. Tantangan utama keberhasilan strategi tersebut ada 2. Pertama, risiko tinggi menerima paper loss besar. Ini mudah terjadi karena saham tersebut akan memiliki nominal yang sangat rendah. Sangat mudah sebuah saham di 200/share turun ke 100/share dibanding saham dengan nominal 20.000/share ke 10.000/share. Keduanya sama-sama paper loss 50%, tapi yang kedua sangat mungkin berujung menjadi permanent loss dibanding yang pertama (sebagai contoh investor pucuk di HMSP). Kedua, investor perlu menyadari kalau valuasi serendah itu sangat biasa terjadi karena perusahaannya memang buruk. Investor perlu ada alasan bagus mengapa setidaknya EVA tidak akan turun signifikan dalam waktu dekat sehingga memperbesar risiko bangkrut. Dalam kenyataan, investor yang tanpa pandang bulu langsung ambil semua saham dengan PBV dibawah 0,35 akan mendapati di portfolionya saham-saham yang sebentar lagi delisting. Sayangnya, memprediksi kapan suatu saham bangkrut, atau setidaknya delisting adalah hal yang saya yakin tidak bisa dilakukan secara konsisten*. Investor bisa menghindari risiko tersebut dengan memilih perusahaan yang economically profitable (EVA positive), tapi list sahamnya akan terlalu restriktif, dan almost surely tidak ada yang trade di EV/Capital 0,3. Mencari good investment opportunity di perusahaan-perusahaan yang economically profitable (dan juga somewhere in between) justru memerlukan kerangka analytic yang lebih kompleks (sebagai kasus extreme disini, lihat UNVR).



*Sebagai case in point yang sangat bagus adalah TELE. Di analisa yang saya buat di awal tahun 2020, saya mempoint out kontraksi tajam EVA di Q3 2019 (data terakhir pada saat itu). Sangat berbeda ceritanya bila kita lihat net income. Problemnya, saya salah menduga kalau ternyata pandemi 2020 secara signifikan memotong EVA lebih lanjut, dan sekarang TELE berpotensi delisting.


131 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


© 2024 by Rio Adrianus

  • Black Twitter Icon
bottom of page