EVA Brief: TBIG (Tower Bersama Infrastructure) Q1 2021
- Rio Adrianus
- 29 Agu 2021
- 5 menit membaca
Sepanjang analisa EVA saya di perusahaan publik Indonesia yang sekarang mencapai lebih dari 70 perusahaan, TBIG memberikan sebuah kasus istimewa. Inti permasalahan dalam membeli saham TBIG dari pandangan saya berada di cost of capital, sebuah faktor kritikal yang lebih baik dibuat practical, tapi menjadi masalah besar ketika tidak bisa menjadi practical. Saya mulai dengan overview kondisi TBIG dahulu.
For the most part, bisnis TBIG menyewakan menara antena pemancar signal wireless yang dipakai di gedung kantor dan shopping mall. So far, TBIG adalah value creator yang konsisten, mampu menghasilkan return di atas cost of capitalnya (asumsi WACC yang saya pakai 10%; take note for later discussion).


Take note kalau ROIC TBIG (setelah accounting adjustment revaluasi yang signifikan) berada di range 11-12%. For most Indonesian companies, saya percaya range cost of capitalnya berada di kisaran 9-13%. Dengan kata lain, selagi TBIG mampu mencetak EVA positive, tapi kondisinya hampir break-even (wealth neutral).
EVA terkontraksi di Q1 2021 (LTM) untuk 2 hal: pertama, gross margin menurun seiring dengan penambahan menara antena yang dimiliki TBIG. Di tahun 2018, antenna tower berjumlah 15.091 tower. Sekarang, 16.265 tower. Kedua, karena pajak. Setelah melakukan beberapa adjustment terutama di perubahan deferred tax, marginal tax rate TBIG sebenarnya cukup stabil di dekat 22%. Pajak ini mengalami kenaikan di Q1 2021, tapi mungkin bisa cepat balik turun di Q4.

Jadi, so far so good, dengan sedikit concern di gross margin. Bisnis TBIG terlihat memiliki kemampuan untuk mencetak economic profit positif yang stabil. Pertumbuhan jumlah pengguna menara lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah menaranya. Kalaupun ada concern yang valid, yang so far terbukti menurunkan gross margin (and consequently, EVA), most likely itu terjadi karena tower baru yang dibeli TBIG semakin mahal. Secara singkat, saya baru melihat negative outlook secara operasional apabila ada rencana ekspansi tower secara agresif. Untuk lebih jelas, negative outlook karena ekspansi ini terjadi karena pertumbuhan pengguna tower most likely tidak cukup untuk mengoff-set biaya tower yang dibeli TBIG yang semakin hari semakin mahal.
Sekarang saya ke isu yang jauh lebih besar dengan efek yang jauh lebih signifikan untuk harga sahamnya.
Cost of Capital
Background EVA di atas penting. Tapi jauh lebih tidak signifikan dibanding dengan apa yang di priced-in oleh investor.
Untuk melihat betapa problematic harga saham TBIG, pertama kita perlu melihat besarnya nilai aset TBIG. Di balance sheet, total aset Q1 2021 tercatat Rp 42 T. Sebagian besar aset ini adalah menara antena. Bila kita lihat lebih detail, nilai aset ini sudah dinaikan sekitar Rp 7,5 T oleh akuntan.
Sekarang kita lihat equity TBIG. Besarnya Rp 9,8 T. Dengan kata lain, tanpa revaluasi oleh akuntan, equity TBIG menjadi sangat kecil dibanding dari apa yang kita lihat sekarang. Put it another way, nilai book equity TBIG hampir seluruhnya terdiri dari akun fiktif. Setelah kita bisa melihat tembus dari ilusi revaluasi ini, kita akan menemukan kalau hampir 100% bisnis TBIG dibiayai oleh kreditur (total hutang TBIG per Q1 2021 sekitar Rp 29 T – bandingkan dengan book equity setelah menghilangkan revaluation sebesar Rp 2,4 T).
Problem dari kondisi hampir seluruh net aset (capital invested) dibiayai oleh kreditur bagi pemegang saham jelas: nilai klaim shareholder untuk aset tangible TBIG hampir nol. Ini berarti nilai TBIG di mata shareholders hanya bergantung pada persepsi berapa besar NPV (Net Present Value) yang bisa dihasilkan TBIG dari aset yang hampir seluruhnya dibiayai oleh kreditur. Di bawah ini adalah breakdown harga saham TBIG dengan 2 komponen utama: net capital (setelah dikurangi klaim kreditur) dan NPV. Net capital hampir tidak kelihatan.

Mengharapkan NPV positif, sebagaimana direfleksikan di harga saham TBIG, adalah hal rasional karena memang TBIG terbukti secara konsisten menghasilkan economic profit positif dengan ROIC berkisar 11-13%. Problemnya ada di seberapa besar harapan ini.
Some important facts: Economic profit TBIG tidak banyak berubah. ROIC hampir tidak bergerak. Sekarang kita ambil harga saham TBIG di 1.500/share untuk melihat betapa problematik ekspektasi investor terhadap NPV TBIG. Kenapa saya ambil 1.500/share? Karena harga saham TBIG lama bertengger di sekitar itu sebelum naik persisten all time high di tahun ini. Dengan kata lain, saya expect kalau penilaian investor cukup rasional di level tersebut.
Dari estimasi saya, economic profit TBIG di tahun 2020 mencapai record high di Rp 593 Miliar. Apabila level economic profit record ini bisa dipertahankan (sejauh ini di Q1 2021, tidak), maka besar NPV bisnis TBIG akan sebesar Rp 5,9 Triliun. Itu dengan cost of capital (WACC) 10%. Seberapa besar ekspektasi investor di 1.500/share? Karena net capital TBIG hampir nol, maka besarnya NPV yang diharapkan investor nilainya sebesar market cap, sekitar Rp 33 Triliun. Jadi TBIG ‘hanya’ perlu mencari additional NPV sekitar Rp 27 Triliun untuk memenuhi ekspketasi investor (i.e menjustify harga sahamnya) di 1.500/share. Bukan ekspektasi yang bisa saya sebut rasional.
Jadi apa yang membuat gap ekspektasi – realita ini persistent? Saya akan jujur. Kalau seandainya kebanyakan saham yang saya analisa seperti ini, saya akan membuang EVA dan fundamental secara keseluruhan. Teori EVA solid dan konsisten dengan cashflow, hanya tidak berguna dalam praktek.
Untungnya, TBIG adalah kasus istimewa, bukan apa yang sering saya temukan. Jadi saya masih akan press dengan melihat TBIG dengan framework EVA. Kemungkinan lainnya ada di ekspektasi terminal growth yang sangat tinggi. Tapi ini unacceptable. Bila kita melihat ROIC, TBIG tidak menghasilkan return yang tinggi. Ini adalah bisnis yang tidak memiliki economic moat yang kuat (ketika nanti di Unilever, saya akan membahas kasus yang demikian).
Gap ekspektasi NPV juga terlalu besar untuk dijelaskan dengan adjustment accounting yang saya lakukan di revaluasi aset. Dan ini meninggalkan saya di WACC. Note kalau perhitungan saya menggunakan asumsi WACC sebesar 10%. Apabila saya menurunkan WACC ini menjadi 5%, ekspektasi investor akan terlihat jauh lebih rasional di 1.500/share. Konsekuensi secara operasionalnya, bisnis TBIG akan pantas dilihat sebagai perusahaan yang memiliki economic moat kuat untuk alasan sederhana: ROIC 12% - WACC hanya 5%, jadi bisnis ini secara konsisten memberikan excess return sekitar 7%.


Apakah ada alasan bagus untuk WACC rendah 5% ini? Di awal saya menjelaskan kalau hampir seluruh bisnis TBIG dibiayai oleh kreditur. Saya akan mencabut diri dari perdebatan apakah cost of capital semakin turun menuju ke level kreditur seiring dengan bertambahnya porsi hutang. Sejauh ini saya tidak menemukan alasan bagus untuk mengubah asumsi WACC saya di sekitar 10% untuk perusahaan publik Indonesia. Estimasi EVA untuk perusahaan US memang lebih baik menggunakan WACC yang lebih rendah, terutama karena Fed rate di sekitar 0%. Tapi tidak di Indonesia.
In the end, saya akan mengambil kesimpulan kalau TBIG adalah kasus istimewa. Preferensi saya adalah tetap menganggap cost of capital TBIG di dekat 10% dengan konsekuensi harga saham TBIG tidak pernah masuk akal setidaknya sejak tahun 2017, bahkan untuk low point 600/share di tahun 2019 awal. Secara bisnis, WACC 10% ini memberikan indikasi kalau TBIG bergerak di area dengan kompetitif yang ketat sehingga sulit menghasilkan economic profit signifikan. Selama saya mengambil pandangan ini, TBIG tidak akan masuk ke portfolio saya sebelum harga sahamnya jatuh sangat drastis.
Tapi seandainya saya perlu memasukan TBIG ke dalam portfolio, saya akan mengambil pandangan WACC 5% dan berdansa dengan investor lainnya. Ini akan menjadi permainan you blink, you fall hard, karena kita berdiri di atas fondasi pasir yang memandang TBIG sebagai bisnis yang exceptionally profitable yang bisa menghiraukan kompetitornya.
Jadi dari tadi saya berbicara tentang harga saham TBIG ketika 1.500/share, yang berarti ekspektasi NPV sebesar Rp 33 Triliun. Sekarang harga sahamnya di sekitar 3.000/share. Ekspektasi NPV investor saat ini sebesar Rp 62 Triliun. Walaupun saya berani memegang asumsi WACC 5%, harga saham ini sudah keterlaluan.
Berita terbaru memberi indikasi kalau ada kemungkinan TBIG merger dengan TWOR. Berikutnya saya akan melihat TWOR. Dengan harga saham TBIG setinggi ini (dan kemungkinan besar TWOR juga), saya pikir pihak yang mau menerima pembayaran dengan saham adalah pihak yang kalah.
Comments