Ada 2 kandidat investasi di pikiran saya saat ini setelah mencoret AUTO sebelumnya karena potential returnnya saya pandang kurang kompetitif. Yang pertama real estate dan yang kedua SRIL setelah suspensinya dicabut (bergantung pada kesediaan lender untuk me-roll over long term debt yang mature di awal tahun depan). Saya akan memberikan pandangan saya mengenai LPCK sebagai potential investment disini. Pembaca perlu tahu kalau saya sudah membeli saham LPCK sebelum tulisan ini saya buat. Jadi ada risiko kalau EVA Brief kali ini mungkin memiliki lebih banyak bias dari yang lainnya. At any rate, let’s get started.
Hal pertama yang saya perhatikan adalah harga saham perusahaan real estate memiliki korelasi tinggi. LPCK adalah saham real estate yang returnnya paling buruk sejauh ini. Korelasi tinggi antar saham ini mengindikasikan high probability kalau perusahaan-perusahaan real estate ini memiliki economic profit driver yang sama. Dalam kondisi ‘shared economic driver’ seperti ini, ketika saya memiliki reasonable confidence kalau economic driver ini setidaknya tidak menjadi lebih buruk, preferensi saya adalah memilih saham yang terburuk. Ini karena economic profit improvement terbesar mudah terjadi di perusahaan yang terpuruk, simply karena starting base perusahaan ini sangat rendah. In turn, improvement ini berujung ke kenaikan harga saham signifikan karena saham-saham terpuruk ini cenderung memiliki investor base yang ekspektasinya sudah hancur.
Saham real estate menemukan bottom di Maret 2020. Apa yang menjadi perhatian saya adalah seberapa pesimistis pandangan investor saat itu. Dari estimasi yang saya lakukan, di price bottom 370/share, investor melihat NPV (MVA) bisnis LPCK sebesar minus Rp 7,8 T. EVA LPCK di tahun 2020 sebesar minus Rp 734 M. Saya berasumsi cost of capital LPCK sebesar 12%. Ini berarti apabila EVA LPCK tidak mengalami perubahan di level buruk tahun 2020 (constant EVA), maka NPV (COV) LPCK besarnya minus Rp 6,1 T (-Rp 734 M/12%). Dengan kata lain, market menempatkan ekspektasi kalau LPCK akan lebih buruk dari tahun 2020. Fast forward 12 bulan kemudian di Q3 2021 (LTM), EVA LPCK lanjut memburuk menjadi minus Rp 850 M. Bila kita berasumsi keadaan ini tidak berubah, maka NPV LPCK saat ini sebesar minus Rp 7 T, masih lebih baik dari ekspektasi NPV market di low 2020. Saya memiliki reasonable basis kalau investor sudah sangat pesimistis di Maret 2020. Ekspektasi NPV yang sangat rendah ini juga terlihat di real estate lainnya yang saya lihat, CTRA (Ciputra Development).
*Kalkulasi EVA tahun 2018 menggunakan adjustment untuk me-reverse accounting gimmick ketika LPCK melepas hak kendali atas anak perusahaan PT Mahkota Sentosa Utama dan mereport accounting gain signifikan, tanpa ada pemasukan cash nyata. Konsekuensi dari accounting gimmick ini: Reported Net Income LCPK di tahun 2018 berada di all-time high, tapi investor besar LPCK tampaknya tahu jebakan ini.
Note betapa close-trackingnya MVA (estimasi dari market price) dan COV (constant current EVA), dan note MVA turun duluan di market top 2014 (market top LPCK terjadi di awal tahun 2015) sebelum COV. Kedua hal ini adalah indikasi kalau investor LPCK memiliki akses inside information yang reliable, dan mereka memiliki behavior yang segera merubah pandangan mereka ketika data berubah. Sulit mencari opportunity di market seperti ini jika kita hanya bisa mencoba predict masa depan, apalagi mengikuti berita. Investor LPCK tahu duluan, dan mereka cenderung betul.
Saya mengulangi kalau saya percaya edge investing LPCK saat ini berpusat pada analisa kalau market low 2020 menunjukan tingkat pesimisme tinggi dari investor. Untuk itu, pertanyaan penting saat ini adalah apakah EVA LPCK akan semakin buruk? Dalam menjawab pertanyaan ini, saya perlu mencoba mengerti apa yang membuat LPCK mengalami golden years di tahun 2010-2014.
Apa yang saya temukan adalah golden period di real estate ini tidak hanya terjadi di LPCK saja. Hal serupa terjadi di ASRI (Alam Sutera) dan CTRA (Ciputra). Selagi ada perbedaan dengan value driver, EVA semua perusahaan ini mengalami peningkatan selama periode tersebut dan mengalami kontraksi EVA serentak setelah tahun 2014-2015. Apa yang sebenarnya membuat boom ini bisa terjadi? Jawaban dari pertanyaan ini menurut saya memberikan perspektif yang sangat berguna untuk melihat prospek EVA real estate dalam waktu dekat.
Pandangan umum mencoba mengaitkan performance perusahaan real estate dengan pertumbuhan ekonomi. Saya memiliki pandangan lain. Dalam pandangan saya, property boom yang berlangsung sampai 2014-2015 disebabkan karena ekspansi likuiditas masif secara global yang disebut Quantitative Easing. Di bawah ini saya menampilkan data balance sheet The Fed. Ekspansi masif ini juga terjadi di berbagai negara maju, dan sekarang diikuti oleh negara berkembang.
Kita bisa melihat kalau ekspansi cetakan uang the Fed berlangsung sejak GFC 2008-2009 hingga akhir tahun 2014. Dalam pandangan saya, ekspansi kredit global ini (dengan interest rate secara efektif 0% dan maturity karet) akhirnya mengalir ke real estate Indonesia dengan konsekuensi kenaikan skyrocket harga properti dan tanah. Ketika tuas likuiditas global berhenti dipompa, economic performance developer mulai dari Lippo yang sekarang banyak dihujat hingga the venerable Ciputra merosot. Point yang saya buat, perkembangan domestik tidak memiliki dampak signifikan untuk perusahaan real estate ini.
The Fed kembali print money di pertengahan tahun 2020 dan berlangsung hingga saat ini...dengan skala yang jauh melampaui GFC 2008-2009! Konsekuensi yang jelas dan relevan untuk analisa kali ini sudah terlihat di EVA CTRA (Ciputra) di atas. Performance CTRA, as measured by EVA, belum pernah setinggi ini – di masa pandemi. Likuiditas global telah mengalir kembali ke real estate Indonesia.
Notice kalau saya tidak memention stimulus KPR yang sedang dipromosikan oleh media sebagai sumber optimisme real estate market. Stimulus berupa pajak dan uang muka yang lebih kecil jelas memberi keuntungan lebih untuk investor yang memiliki akses kredit yang lebih murah. Apa yang terjadi dengan CTRA tidak akan terjadi tanpa Quantitative Easing Jumbo yang dimulai sejak tahun 2020. Dengan atau tanpa stimulus KPR, saya yakin global liquidity tetap akan kembali masuk ke real estate. Kalaupun ada kebijakan pemerintah yang lebih signifikan, menurut saya itu ada di dalam Omnibus Law yang setahu saya membuat investor asing lebih mudah memiliki properti di Indonesia tanpa restriksi berupa jangka waktu ataupun struktur ownership. Tapi hal-hal seperti itu tidak pantas dipromosikan di media.
Conclusion
At any rate, sejauh ini tampaknya global liquidity belum masuk ke LPCK. Saya cukup yakin ini hanya tinggal menunggu waktu. Dengan atau tanpa validasi efek global liquidity ini ke real estate market, the overriding factor yang mendasari keputusan investasi saya tidak berubah: Saya memiliki reasonable confidence kalau investor sudah sangat pesimistis di bottom 2020. Perkembangan global liquidity dan apa yang terjadi di CTRA memberi pandangan kalau situasi ke depan sepertinya tidak lebih buruk untuk LPCK. Kalaupun ada keputusan management LPCK yang secara material memberikan dampak negatif, itu ada di investasi instrument keuangan bernama DINFRA yang dikelola oleh Bowsprit, sebuah perusahaan asset management Lippo Group. Jumlahnya di tahun 2019 hampir mencapai Rp 3,2 T. Investasi ini kemungkinan besar sebuah bencana. Management me-write-off sekitar Rp 2,8 T di tahun 2020. Write-off besar ini (yang dengan setia saya kembalikan kembali dalam perhitungan EVA) mungkin bisa menjadi pertanda bagus kalau management tidak berniat melanjutkan blunder besar ini.
Berbicara tentang Lippo Group dan investasi bencana mereka yang jumlahnya signifikan, saya teringat dengan kasus LPPF. Di analisa LPPF belum lama ini, saya mengatakan kalau management telah melakukan langkah EVA positif material dengan menutup gerai-gerainya yang sudah terlalu banyak dan kalah bersaing dengan online stores. Apa yang membuat EVA mandek, dan menahan keputusan saya invest di LPPF adalah investasi mereka yang signifikan di Bank Nobu, sebuah bank milik grup Lippo. Investasi di bank Nobu ini most likely tidak berujung baik, dan saya khawatir karena jumlahya semakin besar selama pandemi. Itu berdasarkan laporan keuangan Q2 2021. Tapi bila kita lihat kenaikan harga saham LPPF sejauh ini, sepertinya kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan. Mungkin itu menjadi pertanda kalau investasi DINFRA tidak akan dilanjutkan oleh management LPCK.
-----------------------------------------------------------------
Dibawah ini saya menunjukan level-level penting LPCK yang relevan untuk jangka panjang. Dugaan saya, high 2019 akan ditembus apabila LPCK kembali memasuki fase bull market yang didorong oleh global liquidity. Di tahun depan kita akan bisa melihat indikasi apakah global liquidity ini juga akan membawa perubahan dramatis EVA LPCK seperti yang terjadi di CTRA. Lebih spesifik, dengan kondisi LPCK saat ini, key factornya menurut saya ada di apakah global liquidity bisa merubah peruntungan investasi LPCK di DINFRA sehingga setidaknya management tidak perlu menjualnya dengan harga fire-sale. Bila bisa dilakukan, saya bisa melihat kemungkinan EVA LPCK ikut melesat. Bila tidak, setidaknya saya mempunyai reasonable confidence kalau LPCK tidak memburuk dari saat ini.
Today’s Update (18 Nov 2021):
LPCK naik besar sekitar 15% hari ini ke 1.345. Dari observasi dinamika MVA di atas, saya melihat kalau kemungkinannya besar investor kakap LPCK memiliki akses terhadap inside information yang reliable dan material, dan mereka cepat mengubah pandangan berdasarkan data baru. Kenaikan harga saham besar hari ini bisa menjadi indikasi kalau kemungkinan investor menyadari economic performance LPCK semakin membaik semenjak laporan Q3 2021.
Commentaires