Sebagai produsen ban, hal pertama wajar yang menjadi pertimbangan investor dalam menganalisa kondisi bisnis GJTL adalah harga karet.
Kita telah melihat kenaikan banyak komoditas di 2020, seperti CPO. Satu hal krusial yang perlu diingat adalah harga karet dan CPO berhubungan erat. Most likely karena kenyataan kalau tidak jauh dari perkebunan sawit ada perkebunan karet.
Hubungan harga karet dengan GJTL tidak bisa straightforward. GJTL memproduksi ban mobil dengan bahan baku karet. Kenaikan harga karet berarti biaya produksi yang lebih mahal, and most importantly for GJTL, karet di-priced dalam USD, jadi kenaikan dollar secara persistent sejak 2012 membuat gross margin tertahan walaupun harga karet dalam USD anjlok.
Selagi perubahan kurs bisa sebagian dimitigasi dengan hedging, tampaknya GJTL tidak tertarik melakukannya. Hal ini bisa menjelaskan mengapa GJTL seringkali mencetak FX loss besar di income statement yang membuat operating marginnya lebih kecil. FX loss ini biasa terjadi karena GJTL menjual sekitar sepertiga bannya ke luar negeri. Bayangkan Anda banyak menjual barang ke luar negeri tapi dibayar 30 hari kemudian, dan dalam waktu 30 hari itu rupiah anjlok. Akuntan Anda akan mencatat FX loss walaupun definisi ‘loss’ ini berbeda dari biasanya, tapi Anda mengerti ini loss.
Sekarang kita lihat bagaimana gambaran umum performa GJTL.
Secara historis, GJTL bukan perusahaan yang mampu membuat economic profit positif, bahkan ketika di harga puncaknya 2011-2012.
Di harga puncaknya 3.600/share, investor menaruh nilai 2,2x capitalnya. Nilai sebesar itu mengindikasikan investor saat itu expect GJTL bisa meraih NPV sebesar Rp 7 Triliun. Pembaca yang tidak tahu NPV bisa menganggap NPV sebagai total uang yang bisa diambil seluruh investor GJTL dimasa depan. Rp 7 triliun. Kenyataannya, seandainya GJTL bisa terus mempertahankan EVA di golden year 2012, NPV GJTL hanya sebesar Rp 1 Triliun. Bila kita translate ke per share basis, investor mempush harga saham GJTL sehingga 106% lebih tinggi dari apa yang bisa diachieve GJTL di tahun terbaiknya (2012). Investor kemudian segera mengadjust ekspektasi mereka ketika di 2013 EVA GJTL terjun bebas.
Sejak big project pabrik TBR di tahun 2014 (pabrik yang disanjung manajemen di tahun itu sebagai game changer perusahaan yang akan mempengaruhi bagaimana truk dan bus menyentuh aspal), tidak ada perubahan signifikan secara economic profit. Dari apa yang saya lihat, pembangunan pabrik tersebut membawa perubahan EVA negatif. Utilisasi fixed asset semakin mendrag EVA margin ke daerah negatif yang lebih dalam. Biaya operasional per sales basis mengalami kenaikan signifikan.
In general, saya tidak bisa melihat bagaimana GJTL bisa menjadi perusahaan value creator tanpa big overhaul yang kemungkinan besar memasukan agenda divestasi besar. Dan tanpa penurunan dollar persistent, that’s also nearly impossible.
In the long run, tidak ada bisnis seeking-profit yang bisa survive tanpa setidaknya bisa mendapat zero economic profit (EVA).
In the shorter run, perusahaan-perusahaan value destroying bisa memberikan investor return tanpa ter-expose permanent loss. Tentu saja, investor harus (bisa) yakin setidaknya dalam 3 tahun perusahaan itu tidak bangkrut.
Di pandangan saya, ada 2 cara bagaimana investor bisa mencari return tanpa assume much risk di situasi seperti ini.
Pertama, tergantung dari seberapa besar economic lossnya, saya suggest investor untuk memasang harga sekitar 30-35% dari capital. Suggestion ini tidak berlaku untuk perusahaan yang economically profitable atau yang tidak jauh dari value neutral.
Kedua, investor harus memiliki alasan bagus bagaimana economic profit bisa grow cepat. In most instances, EVA growth yang tinggi dianggap a good enough reason bagi investor untuk mem-push harganya di luar batas rasional. We need to take advantage of that.
The good news untuk GJTL, harga sahamnya belum lama ini jauh lebih rendah dari 30-35% capital di 240/share. 30-35% book capital berkisar antara 500-590/share.
Concern yang saya miliki ada di point kedua: “alasan economic profit growth”. 12 bulan terakhir (Q3 2020) economic profit GJTL tidak menunjukan improvement. Alasan utamanya karena FX loss; sebuah problem tanpa strategi hedging. Seandainya GJTL beruntung di tahun ini untuk tidak mencetak FX loss, there’s a good chance EVA bisa meningkat di tahun ini. Tapi in general, tanpa adanya rencana divestasi besar dan/atau penguatan rupiah tajam, saya tidak expect akan ada pertumbuhan EVA signifikan.
At the end of the day, valuation is the ultimate money maker. Walaupun kita mencoret potensi EVA growth significant, GJTL sudah berada di level extreme 230/share. Seberapa extreme itu? Investor menilai GJTL hanya senilai 14% capital. Diskon sebesar itu terhadap capital berarti menempatkan ekspektasi NPV sebesar minus Rp 5 T atau -1.457/share, sebuah record low dalam ekspektasi economic profit GJTL. Situasi Q3 2020 tidak bagus (dan GJTL bukan bisnis yang viable bila itu persists, a.k.a share price 0), tapi economic profit GJTL pernah lebih buruk lagi di tahun 2015 -2018.
Put it together, saya pikir there’s a good chance kalau GJTL sudah memasuki fase pesimistis extreme. It’s unfortunate saya tidak bisa merecognize Elliott Wave pattern di saham ini. GJTL definitely masuk ke dalam potential investment list saya. Saatnya kita lihat technical chart.
Bagian yang saya lingkari concerns me. Peak to peak berdekatan di oscillator cenderung terbentuk di pertengah trend. Biasanya terjadi di ekstensi wave 3 of some sort. To be clear, trend besar di GJTL adalah downtrend. Plus, kita melihat volume spike di resisten signifikan dengan reaksi harga jatuh. Massive supply there.
Secara teknikal, saya tidak melihat tanda bullish di saham ini. Kalau saya hanya melihat analisa teknikal, saya akan expect prior low di 230/share akan ditembus. On the flip side, indikasi bearish akan annul ketika GJTL membuat higher high. So what to do? It would be great kalau GJTL masih memberikan kesempatan purchase di 30% capitalnya (range di dotted lines).
Commentaires