top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

EVA & Brief Discussion on COP 26 Bottom Line: PTBA (PT Bukit Asam) Q3 2021

Dalam pandangan saya, low PTBA tahun 2020 memiliki karakteristik yang mirip dengan tahun 2008/2009 low. Kedua low tersebut merupakan ‘throwback’ dari angle line yang mendefinisikan PTBA.


Dari perspektif trendline diatas, ada 2 skenario apabila saya betul dalam melihat signifikansi line tersebut. Skenario pertama adalah repetisi 2011 menuju new high. Skenario kedua adalah breakdown dari upward line ini.

Sebelum COP 26 (pertemuan tahunan anggota PBB dalam rangka membatasi pemanasan global), saya condong melihat skenario breakdown untuk perusahaan batu-bara. Tindakan serius dalam mencegah pemanasan global melebihi minimal 2°C memerlukan penghentian segera pembangunan sumber listrik batu bara baru di tahun 2020. Jadi kita sudah overdue*.


*Lebih tepatnya ‘very long overdue’ karena pemimpin dunia sudah lama tahu risiko climate change dan sudah membuat agreement international pertama kalinya melalui mediasi PBB di tahun 1997, yang dikenal sebagai Kyoto Climate Agreement.


Ketika saya membicarakan signifikansi hasil COP 26 kepada ipar saya, saya mendapati sebuah kebingungan. Kebingungan dalam mengapa ia mendengar hasil COP 26 adalah sebuah disaster dan apa implikasinya kepada perusahaan batu-bara. Berhubung topik ini central dalam menjawab PTBA, dan juga karena saya ingin membicarakannya, saya akan membahas topik ‘what is at stake at COP 26’ disini. Setelah kita memahaminya, saya pikir konsiderasi-konsiderasi berikutnya untuk PTBA hanya perlu dimention singkat, karena sudah jelas by that point.


Jauh sebelum COP 26 bulan November 2021 dimulai (dan tentunya dihadiri oleh Presiden Jokowi), PT PLN telah menetapkan target untuk menambah kapasitas listrik lebih dari 50% dari kapasitas saat ini di tahun 2030. Sekitar 40% kapasitas baru ini akan berasal dari batu-bara. Most likely, kontrak sudah dibuat dengan investor yang mostly adalah bank SOE China (Chinadialogue).


Satu hal signifikan yang punya peluang terbesar untuk menghentikan pembangunan coal power plant baru ini adalah kesepakatan antar negara, melalui event PBB: COP 26.

Sebagai konteks posisi PBB sebelum COP 26 dimulai, saya akan mengutip statement Secretary General PBB Antonio Guterres pada tanggal 9 Agustus 2021 terhadap working report IPCC terbaru yang memberikan general assessment ‘code red for humanity’:


We need immediate action on energy. Without deep carbon pollution cuts now, the 1.5-degree goal will fall quickly out of reach. This report must sound a death knell for coal and fossil fuels, before they destroy our planet. There must be no new coal plants built after 2021. OECD countries must phase out existing coal by 2030, with all others following suit by 2040. Countries should also end all new fossil fuel exploration and production, and shift fossil fuel subsidies into renewable energy. By 2030, solar and wind capacity should quadruple and renewable energy investments should triple to maintain a net zero trajectory by mid-century.


Notice kata ‘phase-out’ di atas. Penjelasan kata tersebut ada di kalimat sebelumnya: ‘no new coal plants built after 2021’.


Dengan kata lain, seandainya tujuan PBB di COP 26 tercapai, tidak ada lagi pembangunan sumber listrik batu-bara baru lagi mulai sekarang. Ini berarti tahap awal ‘death knell’ bagi perusahaan batu-bara seperti PTBA yang baru memakai logo baru “Beyond Coal” di tahun 2019 tanpa ada tindakan beyond coal yang terlihat signifikan di balance sheetnya. Dengan kata lain, skenario kedua di chart awal.


As it turned out, perjanjian yang ditanda tangani oleh berbagai kepala negara kehilangan kata ‘phase-out’, dan diganti dengan kata ‘phase-down’ atas desakan China dan India yang terjadi di menit-menit terakhir COP 26 (kronologi perubahan draft ini didokumentasikan lengkap oleh CarbonBrief).



CMA text paragraf 36 evolution:


Start of COP 26: Calls upon Parties to accelerate the phasing-out of coal and subsidies for fossil fuels.

---

End of COP 26: Calls upon Parties to accelerate the development, deployment and dissemination of technologies, and the adoption of policies, to transition towards low-emission energy systems, including by rapidly scaling up the deployment of clean power generation and energy efficiency measures, including accelerating efforts towards the phasedown of unabated coal power and phase-out of inefficient fossil fuel subsidies, while providing targeted support to the poorest and most vulnerable in line with national circumstances and recognizing the need for support towards a just transition.



‘Phase-down of unabated coal power’ memiliki arti kalau restriksi pembangunan new coal plant hanya berlaku untuk coal plant yang dinilai ‘unabated’. Unabated disini mengacu ke penggunaan teknologi CCS (carbon capture storage), atau teknologi apapun yang dinilai mengurangi emisi karbon. Kata ‘dinilai’ memiliki arti ‘siapa yang menilai’. Dengan kata lain, kalau seandainya pihak Indonesia, atau China, atau India, menilai new coal plant mereka sebagai ‘clean coal’, maka PBB tidak memiliki basis solid untuk mengatakan negara-negara ini melanggar draft kesepakatan COP 26. Dengan kata lain, draft ini menjadi tidak ada artinya. Business as usual tanpa ada konsekuensi dari perjanjian COP 26. Kontrak pembangunan new coal plants akan lanjut berjalan tanpa halangan dari komunitas international, setidaknya sampai kita memiliki COP baru yang bisa memaksa negara – sejauh ini tidak.


Dalam konteks ini, faktor terpenting economic profit perusahaan batu-bara seperti PTBA kembali bergantung pada harga market batu-bara, yang saat ini all-time high.

Dengan harga batu-bara saat ini, performance PTBA tidak pernah sebagus saat ini. EVA selama 12 bulan terakhir (LTM Q3 2021) saat ini melebihi puncak sebelumnya di tahun jaya 2017-2018. Berhubung kenaikan harga batu-bara yang signifikan terjadi di sepanjang tahun 2021, kita bisa expect full year EVA 2021 akan lebih tinggi lagi dan impactnya akan berlanjut hingga setidaknya tahun 2022.

Saya sering mendengar pandangan kalau risiko utama new coal power ada di demandnya. Pandangan ini mencoba mengaitkan potential demand dengan development di negara maju yang memang betul-betul phasing-out coal power mereka. Tapi bagaimana mungkin demand hilang? Kontrak pembangunan new coal power tidak mungkin terjadi tanpa adanya agreement demand terhadap new coal tersebut. Kalau seandainya China, sebagai pengguna dan investor terbesar batu-bara, serius berkomitmen menghilangkan ketergantungannya terhadap batu-bara, maka kita tidak mendengar perubahan draft COP 26 di menit-menit terakhir.


Dalam pandangan saya, risiko utama perusahaan seperti PTBA saat ini ada di kebijakan pemerintah. Sejauh mana pemerintah bisa memaksa PTBA untuk menjual batu-baranya ke PLN? Berhubung batu-bara ditambang di wilayah Tanah Air, maka pemerintah RI mempunyai kuasa untuk memasang harga jual coal ke PLN. Anda melihat kenaikan kenaikan signifikan biaya listrik? Jadi apa yang terjadi adalah Indonesia memiliki batu-bara yang melimpah dalam kuantitas yang jauh melampaui serapan domestik, sehingga perusahaan seperti PTBA bisa dengan mudah ekspor dengan harga market. Tapi tentu saja, kalaupun supply batu-bara tiba-tiba secara ajaib menipis, pemerintah RI tetap akan kesulitan melarang ekspor perusahaan seperti PTBA karena investor coal plant didominasi oleh SOE China, Korea Selatan, dan Jepang. Dengan kata lain, risiko utama ini adalah risiko yang peluangnya sangat kecil bisa terjadi.


Apa yang kita lihat terjadi adalah PTBA mendapat revenue jauh lebih besar dari ekspor ketimbang domestik yang didominasi oleh PLN dan PTIP. Chart dibawah menunjukan perubahan signifikan dari historical past. Sebelum pandemi, PTBA lebih banyak mendapat revenue dari domestik ketika harga batu-bara melambung. Sekarang kebalikannya. Hal yang paling mungkin terjadi adalah harga jual batu-bara ke PLN dan PTIP jauh lebih rendah dari harga market, tanpa ada upward adjustment seperti zaman sebelum pandemi. Tapi PTBA memiliki batu-bara melimpah sehingga kewajiban domestik masih bisa dipenuhi dan masih banyak batu-bara untuk diekspor yang menghasilkan real profit.

Chart penjualan ke PLN dan PTIP di atas menunjukan kepada saya dengan jelas kalau PLN dan PTIP berada dalam kondisi dimana mereka tidak bisa menaikan harga beli batu-bara. Dengan kata lain, Indonesia saat ini berada di kondisi yang sangat rentan sehingga pemerintah tidak bisa menyerahkan harga listrik ke tangan market, seperti halnya dengan CPO (bagian CPO sudah saya bahas sebelumnya).


Saya juga sering mendengar argumen risiko ada di perubahan preferensi investor yang memilih ESG compliant companies. By default, perusahaan batu-bara tidak ESG friendly. Dalam pandangan saya, investor tidak akan berubah. The only game in town is money. Nothing else. Selama perusahaan makes a lot of money, investor datang. Portfolio ESG di developed countries menunjukan return bagus karena perusahaan-perusahaan seperti solar panel producer mereka menghasilkan banyak uang sejak tahun 2019 (in contrast disini). Proponent ESG perlu melihat apa yang akan terjadi di PTBA dan kawan-kawan.




Bagian yang paling menarik dari ini semua dari sudut pandang saya sebagai investor adalah seberapa besar ekspektasi investor PTBA yang direfleksikan oleh harga saham PTBA saat ini.


Di harga saham saat ini di 2.620/share, investor masih belum mengadjust ekspektasi mereka secara signifikan dari tahun lalu. Dari chart EVA di atas, kita tahu kalau performance PTBA meningkat secara signifikan di sepanjang tahun ini. Di point extremenya pada low 2020, EV/Capital PTBA pernah mencapai 1,0 untuk perusahaan yang secara konsisten bisa mencetak EVA positif bahkan di tahun 2020. Saya pikir gap ekspektasi saat ini masih sangat besar, terlebih lagi kita bisa reasonably expect kalau EVA akan lebih besar lagi dalam waktu dekat. Chart di bawah menunjukan kalau investor menempatkan ekspektasi ‘negative growth’ signifikan dari kondisi saat ini (COV). Sebuah peluang besar untuk investor yang tidak setuju dengan assessment Mr. Market saat ini.

Di bawah ini saya menampilkan estimasi gap ekspektasi dari sudut pandang selisih ‘real EVA momentum’ dengan ‘implied expected EVA momentum’. Outperfromance disini mengacu pada selisih pertumbuhan EVA saat ini dengan ekspektasi market di harga saham tahun sebelumnya. Terakhir kali PTBA menunjukan gap outperformance positif seperti saat ini terjadi di tahun 2017. Gap besar ini juga terjadi karena ada EVA improvement signifikan dari kondisi sangat buruk di tahun 2016.


199 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page