Di analisa LPCK, saya memberikan hipotesis kalau market real estate digerakan oleh likuiditas global. Secara spesifik, real estate boom terbesar di Indonesia terjadi sepanjang tahun 2010-2014 karena massive credit dari Quantitative Easing (QE) menemukan jalannya ke real estate Indonesia. Ekspansi QE berhenti sejak tahun 2015, dan dengannya bull market saham real estate developer. Sekarang dunia sedang melakukan eksperimen QE yang jauh lebih besar lagi dari tahun 2009.
Ekspansi likuiditas masif ini tampaknya telah masuk di properti CTRA di Q3 2021 mendahului real estate developer lainnya. Economic profit (EVA) CTRA tidak pernah setinggi saat ini.
Q3 = Last twelve month (LTM)
Record level EVA ini bisa terjadi karena record high penjualan rumah dan pertokoan.
Berhubung Ciputra sangat fokus untuk menjaga operating expensenya rendah – sehingga Opex hampir tidak berubah selama sekitar 6 tahun, lonjakan revenue ini juga membuat record level operating margin CTRA. Net effect dari semua ini adalah record level EVA.
Chart EVA di atas menunjukan dengan jelas kalau kondisi finansial CTRA sudah buruk sebelum pandemi 2020, if not worse. Hal serupa juga dialami oleh real estate developer lainnya. Pandemi tidak memperburuk kondisi finansial mereka. Sebaliknya, pandemi membawa likuiditas kembali ke real estate.
Chart di bawah adalah komposisi share price CTRA dari sudut pandang EVA yang dibagi dengan net capital (invested capital minus net debt), COV (NPV dengan asumsi constant current EVA), dan growth (perubahan NPV yang diexpect investor).
Kita bisa melihat kalau investor menempatkan growth premium di CTRA. Point extreme optimisme investor sangat terlihat di peak tahun 2016. Kita tahu dari chart EVA di atas kalau CTRA mengalami kontraksi EVA signifikan di tahun 2016. Realita ini tidak hilang dari pandangan investor yang mengerti EVA. Sebaliknya, naratif umum ketika itu adalah pandangan kalau higher high harga saham 2016 adalah bukti dari superioritas CTRA di sektor real estate. Dari pengamatan saya, pandangan superioritas CTRA sebagai justifikasi harga saham tahun 2016 umumnya dishare, dan diperkuat oleh satu sama lain, oleh investor yang knowledgable, tahu banyak hal spesifik tentang bisnis CTRA**. Investor yang percaya dengan ‘prevailing narrative’ tersebut adalah investor yang terjebak di sekitar market top.
(**note di akhir artikel).
Keadaan berubah total di tahun 2020. Di low 400/share, investor CTRA untuk pertama kalinya melihat CTRA sebagai wealth destroyer (negative NPV company), dan bahkan dengan level expected NPV yang lebih buruk dibanding seandainya kondisi tahun 2020 tidak berubah.
Pandangan negative NPV oleh investor ini adalah mekanisme dibalik EV/Capital (atau PBV) CTRA yang jauh dibawah 1,0 pada low tahun 2020 (EV/Capital di low 2020 mencapai 0,6). Chart di atas menunjukan kalau ekspektasi investor di tahun 2020 sangat rendah. Hal yang serupa juga terjadi di LPCK. This is to be expected kalau economic driver perusahaan-perusahaan ini sama.
Sekarang kita telah menyaksikan EVA LPCK loncat ke all-time high dan harga sahamnya rebound dari low 400/share ke 1.160/share saat ini.
Secara historis, investor LPCK menempatkan growth premium* sekitar 40% dari market valuenya (Enterprise Value) ketika LPCK mencetak economic profit positif, seperti yang ditunjukan chart FGR di bawah. Dengan harga saham saat ini (1.160/share), investor masih belum menempatkan growth premium ini. Seperti halnya LPCK, saya pikir ada opportunity dengan return bagus di CTRA.
*Growth premium adalah porsi NPV yang melebihi asumsi constant current EVA berdasarkan harga saham relatif terhadap market value. Dengan kata lain, nilai ini adalah besarnya ekspektasi investor terhadap NPV perusahaan yang belum bisa dihasilkan perusahaan saat ini.
Apabila market kembali menempatkan growth premium historisnya (FGR 40%), harga saham CTRA bisa mencapai 2.140/share, sekitar 26% lebih tinggi dari all-time high tahun 2016 di 1.700/share. EV/Capital di level tersebut mencapai 2,1. Coincidence or not, EV/Capital CTRA tertinggi secara historis adalah 2,2 (lihat chart EV/Capital di atas). Tergantung dari apakah EVA CTRA bisa lebih tinggi lagi dari LTM Q3 2021, kita bisa reasonably expect harga yang lebih tinggi lagi. Tapi untuk alasan market geometry, saya akan prefer target yang lebih rendah.
Market Geometry
Dalam pandangan saya, hal terpenting dalam membuat analisa teknikal yang relevant untuk menambah perpektif long-term investing adalah melihat garis signifikan yang terlihat memiliki peran sebagai ‘backbone’ saham tersebut. Deskripsi lain yang suka saya gunakan adalah garis-garis penting ini membuat dengan jelas kalau pergerakan harga saham memiliki keteraturan struktur yang bukan random.
Untuk kepentingan proyeksi, saya memilih level signifikan di 870/share. Pay close attention terhadap interseksi garis ini dengan high big down bar tahun 2020 (garis panah). Big, shocking bar seperti ini adalah tempat dimana emosi market tinggi. Level tersebut sering menjadi acuan dimana keteraturan struktur market terlihat. Bar-bar shocking ini memberikan level yang lebih signifikan daripada kebanyakan garis support-resistance horizontal conventional.
Dari level tersebut saya membuat ‘mirroring’ (chart bawah). Apa yang saya buat essentialy membuat box di bawah (original box) dari mid-line 870 ke price bottom tahun 2003, kemudian meng’copy-paste box tersebut ke atas dari garis horizontal 870/share (copy box). Box tersebut bisa disudivide dengan golden ratio plus 50%.
Proyeksi dengan mirroring di atas menunjukan CTRA saat ini stuck di 38,2% retracement (subdivision di copy box terbalik). High rebound dari 2020 low stuck di 50%. Estimasi EVA di atas dengan memasukan growth premium yang biasa market taruh di CTRA menunjukan kalau CTRA bisa membuat all-time high baru. Saya pikir ada good chance untuk itu terjadi, terlebih saya suspect EVA CTRA masih akan lebih besar lagi karena record-breaking ekspansi global liquidity saat ini. Tapi proyeksi geometris menunjukan kalau high 2016 di 1.700/share masih akan tetap signifikan. Untuk mendapatkan proyeksi di atas 1.700/share, kita memerlukan level patokan yang lebih tinggi lagi. Tapi mencari level itu sekarang masih premature.
**Extra note:
Ini adalah contoh mengapa saya jarang berkutat di detail, informasi spesifik suatu perusahaan, kecuali saya melihatnya sebagai hal yang signifikan. Secara singkat, saya percaya kalau mendapatkan added benefit dari informasi spesiifk adalah hal yang sulit apabila kita sudah memiliki pandangan overview yang solid (solid dalam arti memiliki pandangan jelas yang mengaitkan pengetahuan overview dengan harga saham). Di samping itu, ada 2 hal yang menyebabkan obsesi terhadap informasi spesifik sangat rawan menempatkan investor dalam posisi disadvantage: Pertama, ‘can’t see the forest for the trees’. Terjebak dalam detail tanpa mengerti perananannya dalam bigger picture. Kedua, proses dalam mencari informasi spesifik sangat rawan hanya memperkuat bias.
Sebagai contoh point ini yang baru terjadi adalah kasus LPCK. Di analisa sebelumnya, saya menyebutkan kalau concern saya di LPCK adalah investasi LPCK di instrument DINFRA. Sampai kemarin, saya tidak tahu spesifik investasi tersebut. Tapi saya tahu kalau investasi tersebut menekan EVA secara signifikan. DINFRA sudah hampir pasti investasi gagal. Tapi seburuk-buruknya investment tersebut, estimasi saya menunjukan kalau market memandang LPCK lebih buruk dari itu. Kemarin saya mendapat informasi spesifik kalau DINFRA adalah investment mostly di Meikarta. Sekarang, apakah hal itu mengubah pandangan saya? Tidak, karena angka investment DINFRA sudah masuk ke dalam estimasi saya. Investment DINFRA unlikely bertambah besar setelah management mengakui blunder besar ini dengan write-off signifikan. Tapi bayangkan kalau saya mulai dengan informasi spesifik DINFRA yang ternyata adalah Meikarta. Saya akan terpengaruh oleh bias karena nama Meikarta. By default, informasi spesifik ini menempatkan saya ke posisi disadantage dalam mencari value opportunity di market yang pesimistis. Tentu saja saya bisa salah dan investment di Meikarta menjadi lebih besar lagi sehingga EVA LPCK lanjut merosot. Hal terpenting disini adalah saya memiliki framework, tapi informasi spesifik terkadang memiliki godaan besar sehingga saya menempatkan framework ke jok belakang. Ketika itu terjadi, informasi spesifik tersebut menempatkan investor dalam posisi disadvantage.
Comments