top of page
Cari
  • Gambar penulisRio Adrianus

A Briefer: [AALI] Astra Agro Lestari & Palm Oil

Sejak awal bulan ini saya mempertimbangkan AALI untuk masuk ke porsi investasi. Sejak saya mempublish interpretasi Elliott Wave di pertengahan tahun lalu, AALI bergerak seperti textbook EW. Lebih dari itu, kita melihat peningkatan economic profit (EVA) sepanjang tahun lalu yang disebabkan kenaikan harga CPO di pertengahan tahun 2019. Efek positifnya dirasakan oleh semua produsen besar CPO.


*Q3 in LTM

Problem utama di CPO adalah oversupply yang disebabkan ekspoitasi hutan massive sejak awal tahun 2000 sampai sekitar tahun 2011-an. Semua orang membakar hutan untuk menanam sawit. Sebuah praktik yang dikritik oleh suara internasional.


Eksploitasi ini kemudian bisa dibilang berhenti setidaknya sejak tahun 2014 karena tekanan dari rendahnya harga CPO yang jatuh keras sejak tahun 2011 ketika trader komoditas akhirnya sadar kalau ‘China miracle’ jauh dari cukup untuk menyembuhkan global demand yang hancur karena krisis 2008. Sebuah krisis yang tidak pernah terselesaikan dan berubah menuju skenario nightmare ketika COVID-19 masuk ke campuran cocktail.


Gap demand-supply CPO ini akhirnya mulai tertutup sejak tahun 2018. Pelajaran moralnya adalah ketika oversupply terjadi, butuh tahunan agar demand menyusul. Semakin besar gap yang terjadi, semakin lama pula adjustmentnya. Saya kepikiran baja dan semen. Tapi ini berlaku untuk komoditas yang demandnya ada. Untuk komoditas yang demandnya bisa kita expect akan terus menurun, seperti batu-bara, pertimbangan lainnya perlu dipikirkan, dengan keyword: obsolete.


Bagaimana dengan program B20? Saya tidak pernah memandang program itu sebagai game changer. If anything, it has many drawbacks. Pertama, fakta bahwa harga CPO jauh lebih mahal dari minyak bumi (siapa yang bayar selisihnya? Produsen CPO? Pemerintah lewat subsidi yang lebih mahal dari subsidi minyak bumi? Atau konsumen lewat kenaikan harga?). Kedua, B20 akan mengundang pembakaran hutan. Kali ini mungkin pelakunya adalah produsen yang kurang memiliki akses ke global market. Ketiga, bila pembakaran hutan yang terjadi, program B20 berpotensi mentrigger tekanan sosial terutama dari Eropa Barat untuk mem-push komersialisasi produk alternatif. Sejauh yang saya tahu, teknologi untuk memproduksi CPO di laboratorium sudah ada, dan walaupun tidak bisa sustainable, semakin banyak lapisan masyarakat bisa berpindah ke minyak yang lebih mahal selagi development di laboratorium berjalan. When there is a will, there is a way. Kita perlu ingat kalau di tahun 2015, banyak expert menganggap solar panel masih tetap tidak economically viable untuk setidaknya 10 tahun ke depan. They are proven wrong.


Pertanyaan paling mendesak untuk profit seeking investors seharusnya ada di seberapa penting peran B-20 dalam kenaikan harga CPO sejauh ini? Saya percaya jawabannya minim. Absen dari pemberhentian ekspansi penanaman sawit baru yang sudah berlangsung selama lebih dari 5 tahun, saya tidak percaya kalau program B-20 bisa mengangkat harga CPO walaupun diterapkan secara agresif. Kombinasi impact yang tidak decisive dan drawback di atas membuat saya mempertanyakan mengapa masih banyak investor yang melihat B-20 sebagai ‘game changer’. Sentimen itu seharusnya sudah terkubur di tahun 2019.


Bukan berarti tidak ada pilihan yang bisa membuat masa depan CPO lebih cemerlang. Menyadari bahwa manusia akan tetap butuh cooking oil dari kelapa sawit (oil yield dari kelapa sawit jauh lebih tinggi dari tanaman alternatif), badan PBB bernama WWF memperkenalkan ‘sustainable practice’ yang diyakini bisa memenuhi demand tanpa perlu membakar hutan ataupun memperluas lahan lagi. WWF memberi penghargaan sertifikat (RSPO) kepada produsen sawit yang mengikuti checklist sustainable practice tersebut. Sebuah sertifikasi yang diakui internasional dan bisa menjadi landasan kuat untuk menangkap kembali demand dari Eropa. Dunia kita membutuhkannya and it’s good for business. Sayangnya, sejauh ini kita megambil pilihan lain. Kita membuat sertifikasi sendiri dan memutus hubungan dengan WWF tidak lama setelah WWF mengambil momentum kebakaran hutan Australia untuk mengkritik praktik keberlangsungan pembakaran hutan disini.


(Satu pengecualian sejauh yang saya tahu adalah perusahaan BWPT yang mendapat sertifikasi RSPO. Kemungkinan karena BWPT screwed up so bad dalam membeli lahan dari BUMN Malaysia di tahun 2014 sehingga berkomitmen untuk tidak lagi berekspansi lahan; satu requirement kunci RSPO).


Dengan pilihan tersebut, prospek CPO sejauh ini di mata saya terlihat masih bagus karena demand dari negara yang menempatkan agenda ‘climate’ di jok belakang masih meningkat, namely China dan India. Economic disaster dari COVID kemungkinan akan tetap memenuhi agenda Eropa sehingga desakan lebih lanjut is unlikely to happen. Tapi pembaca perlu ingat kalau hampir semua cemilan yang digoreng memerlukan CPO seperti Coco Crunch. Nestle menghadapi pressure dari konsumennya di barat untuk tidak membeli CPO dari supplier yang membakar hutan. Semakin besar pressure ini, apalagi bila pemerintah mengambil tindakan, semakin besar pula insentif perusahaan seperti Nestle untuk mendevelop alternatif CPO hutan. Satu faktor krusial lagi adalah seberapa cepat perusahaan sawit mulai menanam sawit baru, yang kemungkinan besar dilakukan dengan membakar hutan.


Dari perspektif economic profit, saya melihat economic profit yang lebih besar dari kenaikan harga CPO karena demand mengejar supply daripada segera menyediakan supply untuk memenuhi demand yang akan datang. Untuk perusahaan sawit yang sudah besar lahannya, margin jauh lebih penting daripada sales growth. Seluruh kenaikan EVA perusahaan sawit di sepanjang tahun 2020 (sampai Q3 2020) terjadi karena kenaikan harga sawit, bukan karena penjualannya meningkat. Think about it this way. Kondisi semua perusahaan sawit sangat pelik di tahun 2019. And yet, harga terendah CPO di tahun 2019 jauh lebih tinggi daripada harga terendahnya, bahkan jauh lebih tinggi daripada ketika Indonesia mulai ekspansi besar-besaran mengambil alih peran Malaysia di awal tahun 2000.


Dengan kata lain, semakin cepat perusahaan sawit kembali menanam sawit baru, semakin saya ragu kenaikan harga CPO bisa berumur panjang, dan dengannya bull market saham sawit termasuk AALI. Sejauh ini saya belum melihat notable expansion di balance sheet perusahaan sawit. Good news.


Di bawah ini saya menampilkan kelanjutan EW count AALI. Dari perspektif ini, AALI baru menyelesaikan satu wave impulsive (bisa wave A zig-zag atau wave (1) besar). Expect koreksi yang sedang terjadi akan memiliki durasi yang lebih lama daripada koreksi sebelumnya di bull market ini. Dua garis horizontal adalah fibonacci confluence zone. Rencana saya saat ini adalah baru membeli ketika AALI menyentuh garis yang lebih bawah.

Di bawah ini saya menampilkan kembali EW count pertama yang saya publish di Juli tahun lalu.

Come to think of it. Ketika melihat bigger picture AALI, saya melihat kemiripan secara price structure di tahun 2011. Bagian yang saya beri tanda segitiga adalah dimana AALI saat ini.

Garis putus-putus adalah confluence zone yang menjadi target awal saya. Saya menilai level itu bukanlah target yang memerlukan ‘game changer’. Harga sawit saat ini saya percaya cukup untuk memberi perubahan substansial terhadap economic profit. Saya menilai kemungkinannya besar gross margin AALI akan segera melebihi level 2018 di tahun ini dengan harga sawit saat ini, dan menjadi driver utama kenaikan EVA. Peningkatan gross margin tersebut akan cukup untuk mencapai ekspektasi (implied) investor di 19.000/share (garis putus-putus di atas). Dari kondisi saat ini,harga 19.000/share mengimply ekspektasi EVA momentum sebesar 5,4% per tahun. Itu bisa dengan mudah terlampaui dengan harga CPO saat ini. Setidaknya untuk setahun.

151 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page