Di Juli 2007, CEO Citibank - Chuck Prince mengatakan kalimat yang kemudian menjadi salah satu legendary quote di dunia investasi, “When the music stops, in terms of liquidity, things will be complicated. But as long as the music is playing, you’ve got to get up and dance. We’re still dancing.” Legendary quote itu menandakan puncak dari saham Citibank dan puncak S&P 500 sebelum terjadinya Global Financial Crisis.
Semenjak low COVID Maret 2020, atau lebih tepatnya di Juli – September 2022, financial market digerakan oleh likuditas dari aliansi ‘holy trinity’: central banks, big banks, dan private equity. Astute investors bisa mendengar ketika ‘musik’ dihidupkan. Sayangnya,bukan saya. Tidak terpikir oleh saya kalau 3 event besar yang seharusnya menjadi red flag global economy malah menjadi green light keluarnya gigantic liquidity dari holy trinity. 3 event besar itu adalah: US yield curve inversion, default wave di sektor property China, dan meledaknya Nordstream pipeline – sumber energy utama EU - akibat perang Ukraine dan Russia.
Anda perlu mengerti kalau 3 red flag itu berarti tanda kontraksi ekonomi (resesi atau bahkan depresi) di ekonomi terbesar pertama (US), kedua (China), dan keempat (Germany) di dunia. Seperti yang nanti Anda lihat, keran likuiditas dibuka kembali ketika konflik Israel – Hamas terjadi di Oktober 2023. Jika Anda penasaran mengapa tulisan saya dalam setahun terakhir di EVA Brief tidak ada analisa EVA nya*, ini karena saya yakin kalau sangat sedikit benefit dari insight fundamental dan valuasi ketika holy trinity membanjiri financial market dengan unlimited money.
Tapi seperti yang dikatakan Chuck Prince, likuiditas bisa diumpakan sebagai musik. Pada akhirnya musik berhenti. Lalu apa yang terjadi ketika likuiditas berhenti? Dalam kata Prince, “things will be complicated’.
Apa yang saya coba lakukan disini adalah memberi Anda perspektif dari 2 lensa yang berbeda: (1) posisi high-yield spread saat ini dengan konteks historisnya dan (2) apa yang terjadi setelah property bust terjadi di Jepang di tahun 1989 vs property bust di China saat ini. Kedua lensa ini saya pikir memberi clear signal kalau musik likuiditas sudah berada di fase akhirnya (yang sepertinya terus menerus mendapat extension).
Analisa ini akan mendapat follow-up dengan observasi posisi saham bank secara global relatif terhadap trendline critical mereka. Konfirmasi kalau ‘musik sudah berhenti’ baru saya nilai sudah terjadi apabila semua bank dalam watchlist saya akhirnya menembus trendline**.
Part 1: Yield Spread Then Vs Present
Kita mulai dengan situasi di global debt market saat ini. Chart 1 adalah perbedaan interest rate perusahaan high-grade dengan perusahaan low-grade (junk bond) yang dicatat oleh Bank of America. Yield spread saat ini hampir berada di level extreme rendah yang hanya pernah terjadi 2 kali sejak data ini available. Pertama, Oktober 1997. Kedua, Mei 2007.
Chart 1
High Yield Index (OAS – BofA): 1997 - present
Apa yang terjadi setelah posisi extreme low? Financial Crisis. Apakah hal ini terjadi karena struktur financial system atau karena stupidity? Apapun jawabannya, kita perlu ingat kalau sekarang seluruh belahan dunia sekarang memiliki ratio Debt/GDP yang melebihi krisis 1998 dan 2008. Pertanyaan besarnya, apa yang akan terjadi ketika musik likuiditas kali ini berhenti?
Chart 2 menampilkan hubungan stock index IHSG dan S&P 500 setelah yield spread mencapai titik terendahnya di Oktober 1997. Apa yang terjadi adalah stock market peak di US dan Indonesia terjadi dalam setahun setelah titik terendah yield spread, kemudian CRASH yang disertai dengan debt crisis.
Chart 2
High Yield Index vs Stock Market Index: 1997-1998 case study
Chart 3 adalah apa yang terjadi di tahun 2007. Yield spread berada di posisi extreme low lagi kemudian dalam satu tahun disusul dengan market top (IHSG dan S&P 500). Market top disusul dengan market crash yang diiringi dengan debt crisis dan pengunduran diri Chuck Prince.
Chart 3
High Yield Index vs Stock Market Index: 2007-2008 case study
Sekarang saatnya kita zoom-in high yield spread index ini di Chart 4 untuk kondisi saat ini. Apa yang unik kali ini adalah chart yield spread memiliki rentetan lower highs sehingga sebuah downtrendline bisa digambar (Chart 4).
Chart 4
Downtrend in High Yield Spread...leading into China stimulus
Downtrendline di high yield spread ini akan memberi tanda dimana akhirnya trend berubah. Dalam framework saya, pandangan perubahan trend di yield spread ini tidak bisa dipisahkan dengan trend di sektor bank yang akan saya buat terpisah….dan komoditas, terutama energy market. Kita bahas hubungannya dengan komoditas sebentar lagi.
Observasi saya sejauh ini membuat saya yakin kalau likuiditas yang membanjiri kredit market sehingga membuat high yield spread berada dalam downtrend sejak September 2022 adalah driving force sebenarnya yang membuat bull market di stock market. Chart 5 menampilkan hubungan high yield spread dengan S&P 500.
Apa yang perlu mendapat catatan tambahan adalah apa yang terjadi setelah April 2024. Untuk banyak kasus, termasuk di Indonesia, April 2024 (hari pertama setelah liburan panjang lebaran) adalah point dimana musik likuiditas sudah berhenti (lihat:Short memo pt.2: Banking Mad Cash Injection Miracle Is at Its End (UBS, The Canary In The Mine – 9 April 2024). Tapi trend reversal belum terjadi karena di Agustus/September giliran central bank China yang memberi stimulus karena default wave. Tapi stimulus China tampaknya hanya mampu bertahan sebentar, seperti yang nanti kita lihat di bagian analisa Hang Seng.
Chart 5
The Hidden Force of Equity Bubble, and….
Interestingly, dan hal ini unik dalam financial cycle kali ini, driving force yang menekan yield spread dan mengangkat equity market juga merupakan driving force yang sama yang menekan harga komoditas dan sahamnya, terutama di energy market (Chart 6).
Chart 6
…That same force is pushing oil price down
Di bulan September 2024, oil market mencatat short selling terbesar oleh money managers sejak GFC (link to the news) (Chart 7).
Chart 7
Record oil shorts
Mainstream views memegang narasi alasan oil price rendah karena global economic slowdown, terutama China. Apa yang tampaknya mereka lupakan adalah kenyataan bahwa oil price berada di dalam trading range sejak low di Maret 2023. Hampir tidak ada perubahan di harga oil sejak tahun 2023. Global demand slowdown? Here’s the thing: BP mencatat global oil consumption di sepanjang tahun 2023 adalah new all-time high. Lebih dari itu, narasi mainstream media juga membuat asumsi implisit (yang tidak dikatakan), kalau perang di Ukraine dan Middle East tidak memiliki impact terhadap supply.
Sekarang Anda telah melihat hubungan debt market dengan energy market. Here is the big question: Apa yang akan terjadi dengan yield apabila salah satu key piece dalam energy market mengalami trend reversal? Jawaban saya sudah ditulis dalam analisa Natural Gas Major Turning Point: It Begins With It, and Ends With It (29 September 2024). Konteks dengan Natural Gas ini penting untuk Anda tahu karena tampaknya pandangan yang beredar saat ini (19 Desember 2024) berfokus dengan Fed rate cut yang ‘menghasilkan’ efek negatif di market. Saya memiliki pandangan yang berbeda di ‘cause and effect’. Jika Anda membaca analisa Nat Gas tadi, Anda akan mengerti mengapa US 10y yield naik padahal The Fed baru menurunkan Fed rate. Kelanjutan kenaikan di 10y yield berarti reversal di High Yield Spread (Chart 1). Sekarang Anda bisa melihat bagaimana domino di financial market berjatuhan.
Biar saya perjelas point tadi. Dalam pandangan saya, here’s how it works: apabila trend reversal terjadi di energy market (dimulai dari Natural Gas) menjadi bull market – untuk alasan apapun – di saat itulah The Fed sudah kehilangan kontrol terhadap driving force (likuiditas) yang menekan yield dan membuat bubble di equity. Dari apa yang saya lihat, turning point itu sudah terjadi di pertengahan September 2024.
Part 2: Property Bust & Equity Meltdown Japan 1989 - 2000 vs China 2018 - 2024
Apa yang terjadi ketika sektor property di ekonomi terbesar kedua collapse? Kita pernah berada di situasi ini sebelumnya, dan saya pikir ada pattern yang berulang disini.
Di tahun 1989, Jepang adalah ekonomi terbesar kedua dan mengalami bubble di di sektor propertynya. Investor Howard Marks menyebut bubble di Jepang ini sebagai ‘The Mother of All Bubbles’. 30 tahun kemudian, China berkata, “Hold my beer.”
Here’s a question. Apa yang terjadi dengan stock market ekonomi terbesar (US) ketika property bust Jepang 1989 terjadi (Chart 8)? Indeks Nikkei hancur, tapi S&P 500 hanya sedikit terkoreksi kemudian melanjutkan bull marketnya sehingga meninggalkan Jepang dalam debu. Divergence besar terjadi antara equity ekonomi terbesar (US) dan kedua (Jepang).
Tapi kemudian suatu hal yang menarik terjadi. Kehancuran Nikkei berlanjut sampai mencapai climax di krisis 1998 yang melanda Asia dengan krisis utang. Point kritis itu kemudian menjadi awal convergence antara S&P 500 dan Nikkei. Boom time terjadi untuk semuanya. Dan berakhir hampir bersamaan juga dalam apa yang dikenal sebagai ‘dot-com bust’.
Secara singkat: property bust menghasilkan divergence di antara stock market no.1 dan no.2. Setelah krisis utang menjadi lebih parah (krisis 1998), stock market no.1 & 2 mengalami convergence dalam bull market. Everybody was happy. Kemudian disusul dengan market crash yang dialami semuanya.
Chart 8
S&P 500 vs Nikkei 1989 - 2000: The pattern
Sekarang ekonomi terbesar kedua di dunia adalah China. Peak Hang Seng terjadi di awal tahun 2018. Begitu juga dengan peak property developer terbesar di dunia – Evergrande. In hindsight, apa yang kemudian terjadi adalah rentetan lower highs dan lower lows di Hang Seng yang signifikan, selagi trend besar bull market S&P 500 tidak terganggu. Divergence jelas terlihat setelah low COVID 2020.
Kemudian situasi property di China semakin parah. Di Januari 2024 pengadilan Hong Kong mengeluarkan perintah agar Evergrande likuidasi. Bubble property di China tidak hanya didorong oleh uang lokal, tapi juga asing. Seberapa besar stake foreigners? Bloomberg melaporkan penjualan offshore bonds oleh developer China sebesar 88 Miliar USD hanya di tahun 2019 saja. Expect angka yang jauh lebih besar tidak dilaporkan. Interestingly, saya notice kalau Ray Dalio suka muncul di panel diskusi expert di China seputar topik ekonomi dan sektor property. Howard Marks perlu merevisi apa yang akan disebut sebagai ‘The Mother of All Bubble’.
Anyway, apa yang kemudian terjadi setelah event Evergrande di Januari 2024 mendatangkan likuiditas yang mengangkat indeks Hang Seng. Stimulus ‘Big Bazooka’ China yang mulai masuk di berita di bulan September adalah kelanjutan dari pivot Januari 2024 ini. Investor China dan US senang. Saham Pantai Indah Kapuk (PANI) lanjut meroket. Good times...
Chart 9
S&P 500 vs China 2018 - present
Bull rally Hang Seng kemungkinan besar sudah mencapai titik jenuhnya. Kenapa? Karena saya yakin Hang Seng sudah masuk ke fase bear market besar (Chart 10) sejak September 2022 (lihat: Global Market Perspective: Major Market Decline Ahead & The Era of Scarcity – 27 Aug 2022). Bull leg yang dimulai sejak Januari 2024 ini adalah koreksi dalam bear market, dan koreksi ini sudah mencapai titik strong resistance (Chart 11).
Chart 10: Hang Seng forecast August 2022
Chart 11: Hang Seng (16 December 2024)
Sebagai penutup, salah satu konsekuensi lainnya yang akan terjadi apabila kita memasuki era major reversal adalah bull market di Indonesia 10y yield (Chart 12). Indonesia 10y yield berada dalam downtrend semenjak tahun 2015. Turun dari hampir 10% menjadi 7%. Di apa yang akan datang, saya menduga kalau yield 10y akan menembus 10% dan balik ke era sebelum GFC terjadi.
Chart 12: Downtrendline in Indonesia 10y yield…soon will be broken.
Analisa berikutnya adalah list posisi saham big banks di berbagai negara relatif terhadap trendlinenya.
Additional notes:
*Analisa EVA terakhir yang saya tulis di Juli 2023 berjudul Cikarang Listrindo (POWR). Saya masih memiliki pandangan yang sama. Apa yang bisa saya tambahkan setelah berbagai analisa intermarket setelah analisa EVA itu dilakukan adalah small bull run POWR di sepanjang 2022-2023 tidak terlepas dari lonjakan pembelian mobil di tahun 2022 yang bisa terjadi karena kredit murah. Fenomena kredit murah di Indonesia ini tidak terlepas dari stimulus global sejak COVID. Bear market POWR akan berlanjut ketika government bond yield di chart terakhir akhirnya mengalami bull market. Government bond yield adalah titik koneksi dimana berbagai market bubble yang terjadi secara global bertemu.
**Di tanggal 19 Desember 2024, bank di dalam list yang telah tembus trendline bertambah satu: BBCA.
Comments